"Aku tidak mau memaafkannya. Dia harus menerima balasan yang setimpal." Itulah alasan yang sangat sederhana bagi seseorang, mengapa menolak untuk memaafkan kesalahan orang lain. Seolah-olah Tuhan tutup mata atas segala perbuatan seseorang karena semua orang memaafkannya. Benarkah Tuhan tidak lagi meminta pertanggungjawaban atas kesalahan yang dilakukan, jika telah dimaafkan?
Persoalan memaafkan dan tidak memaafkan selalu terkait tidak hanya pada sisi lahir dan kepentingan pragmatis. Tetapi lebih pada ranah kepercayaan dan spiritualitas. Islam memberikan konsep maaf sebagai salah satu solusi yang terbaik untuk menyelesaikan persoalan antar manusia atas segala hal yang mereka perselisihkan.
Dalam sebuah ayat dengan jelas diterangkan, "Katakanlah kepada orang-orang yang beriman, hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tiada takut hari-hari Allah (Yang dimaksud hari-hari Allah ialah hari-hari di waktu Allah menimpakan siksaan-siksaan kepada mereka) karena Dia akan membalas sesuatu kaum terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (QS: Al Jaatsiyah: 14)
Dengan ayat tersebut diatas, maka menjadi terang bagi kita. Dengan dimaafkannya seseorang, tidak serta merta dia terlepas dari balasan yang mestinya dia terima. Dan secara teologis, Allah telah menempatkan orang yang beriman, artinya orang yang mau memaafkan, sebagai manusia yang selalu beruntung. Karena Dia menjamin semua hak-haknya akan terpenuhi. Bahkan akan ada tambahan bonus, karena maafkan berarti sama dengan memberikan sedekah yang tulus.
Dalam sebuah ayat lain jelas dinyatakan, "Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim." (QS: Asy Syuura: 40)
Ada beberapa jenis perbuatan kejahatan yang dikategorikan oleh para ulama berkaitan dengan maaf. Perbuatan jahat manusia secara garis besar dibagi menjadi dua, kejahatan muamalat (sengketa) dan kejahatan pidana (jinayat).Â
Kejahatan muamalat jika berhubungan dengan persoalan dua pihak manusia yang berselisih atas suatu persolan sehingga salah satu pihak mendzalimi atas hak orang lain. Sedangkan dalam hal pidana atau jarimat, hanya ada istilllah pelaku dan korban.
Untuk dua kategori besar tersebut, persolan maaf dapat menyelesaikan sepenuhnya persolan. Jika perselihan selesai dengan dial--dial perdamaian, maka persolan selesai. Tidak perlu lagi dipermasalahkan.
Persoalan maaf erat kaitannya benar dan salah. Namun sering kali penempatannya rancu dalam keseharian kita. Misalkan saja kasus yang paling ramai adalah kasus pak Harto kemarin. Seluruh rakyat Indonesia sepertinya mengenal beliau, presiden Indonesa selama 32 tahun.Â
Setelah wafatnya beliau, ada dua arus besar yang mensikapi kematiannya, pertama dengan memaafkan, dan kedua mengusut tuntas kasusnya. Inikan menjadi rancu ketika kita bicara konteks memaafkan dan sanksi. Baiklah kita memaafkan, tapi apa yang kita maafkan?