Bahasa adalah buah peradaban manusia yang terus berkembang mengikuti dinamika manusia itu sendiri. Kemunculan suatu istilah yang ada pada suatu masyarakat, merupakan buah konvensi yang berlangsung lama. Begitu pula perubahan makna suatu istilah, meskipun penulisan dan pengucapan tetap sama, namun maknanya bisa berubah bahkan bertolak belakang.
Jika diperhatikan, pada beberapa media, kita akan menemukan beberapa peristilahan yang ditulis kurang lazim. Contoh penulisan istilah  "tidak senonoh" hanya dipakai "senonoh"-nya saja. Pada dasarnya penulisan tersebut tidak bermasalah jika dengan perubahan bentuk penulisan tersebut kemudian memiliki signifikansi makna yang jelas.
Misal dalam kompas 2 April yang lalu, ada judul berita "Diharuskan Pakai Gaun Senonoh". Jika kemudian membaca isi pemberitaan, ternyata yang dimaksud "gaun senonoh" adalah pakaian yang sopan. Sementara itu dalam satu berita di www.detiknet.com, ada judul berita "Guru SD Buat Foto Senonoh". Jika kita membaca isi berita tersebut, ternyata yang dimaksud dengan foto senonoh adalah foto mesum dan cabul.
Perbedaan tersebut tidak jadi soal saat menjadi bahan cakap satu dua orang saja, namun akan menjadi persoalan jika diungkap oleh media. Banyak orang akan terkecoh dengan peristilahan-peristilahan tersebut.
Selain itu, media merupakan sarana sosialisasi atau pembiasaan, sehingga seolah memaksakan suatu makna kepada masyarakat, yang kemudian bersama-sama dituntut untuk memakainya. Adanya perbedaan makna yang bertolak belakang tersebut, dapat menyebabkan kebingungan dalam masyarakat.
Perbedaan tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi jika kita mau menggunakan pedoman kamus. Â Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "Senonoh" selalu digabungkan dengan kata "tidak" dan "kurang", yang berarti negatif.
Namun "senonoh" sendiri tetap saja bermakna negatif, yaitu kurang serasi, tidak patut atau tidak sopan. Namun pada umumnya, "senonoh" tidak pernah dipakai sendiri tanpa kalimat negasi di depanya.
Selain "senonoh", ada beberapa kata yang sering salah penggunaannya, bahkan ada kontradiksi dalam kamus sendiri. Misal, kata "bergeming". "Tidak bergeming" sering diartikan diam, tidak merespon. Sehingga "bergeming" digunakan untuk mewakili makna bergerak atau merespon. Sedangkan dalam KBBI terbitan Balai Pustaka, jelas dinyatakan "ge-ming", "bergeming" bermakna tidak bergerak sedikit juga atau diam saja.Â
Jika demikian, mestinya "tidak bergeming" berarti "tidak tidak bergerak", sehingga bermakna bergerak atau merespon. Namun, dalam KBBI yang diterbitkan oleh KASHIKO Surabaya, justru mencontohkan "Meskipun diterpa angin, diguyur hujan dan panas, namun pertapa itu tak bergeming dari tempat duduknya." Ini artinya antara bergeming dan tak bergeming dimaknai sama.
Kemudian kata "seronok". Istilah ini sering diartikan sebagai penggambaran pakaian yang terbuka, minim, atau perilaku yang mesum. Padahal sebaliknya, arti "seronok" dalam KBBI bermakna sedap dipandang, nikmat didengar, atau menyenangkan, semuanya tanpa unsur seksualitas dan pornografi. Dicontohkan "Dalam dunia keronggengan ini, suara pesinden itu sama-sama seronok dan menarik hati."
Satu lagi contoh kesalahan yang sering terjadi, yaitu pada kata "acuh". "Acuh" sering dimaknai tak perduli, padahal "acuh" dalam KBBI bermakna perduli atau mengindahkan. Sehingga "tidak acuh" bermakna tidak perduli. Sering kita dengar orang mengatakan "acuhkan saja perkataannya." Maksudnya jangan perdulikan perkataannya, mestinya "jangan acuhkan perkataannya."