Seorang anak di pedesaan, dengan jumlah saudara hampir selusin, berangkat sekolah dengan tanpa alas kaki. Membawa tas lawas bekas milik kakaknya, berisi buku gambar kusam, pensip murahan dan botol kecil air mineral bekas berisi air putih saja. Mendekati gerbang sekolah yang banyak disebut dengan istilah taman kanak-kanak, dia tampak melambatkan jalan dan sedikit bimbang. Tempat yang sudah diasosiasikan dengan taman penuh kegembiraan itu tidak mampu memantik riang gembira dalam jiwa kanak-kanaknya yang mestinya tengah membara.
Dengan perlahan dia melangkah masuk pekarang taman, seakan berharap tidak ada seorang anakpun yang menyadari kedatangannya. Dan kalau bisa, kesendirian itu terjadi sampai waktu pulang nanti. Namun begitu mendekati pintu masuk kelas, seorang guru dengan lembut bertanya, "Kenapa Sapto tidak pakai sepatu?" Sapto hanya menunduk setelah menyalami dan mencium tangan ibu guru. Tidak ada suara. Seolah mengerti, Ibu guru muda baik hati itu tidak melanjutkan pertanyaannya. Diusapnya rambut Sapto yang kasar karena jarang bersentuhan dengan sampo apalagi creambat.
Sapto segera menuju bangku di pojok kiri paling depan. Meski sebenarnya dia benar-benar ingin berada di barisan paling belakang, berharap bisa menyembunyikan kakinya yang telanjang teka beralas. Meski begitu, dia tidak berani bergeser ke belakang. Karena tempat duduknya telah ditetapkan. Dan dia harus merasa tersiksa sepanjang hari karenanya.
Kawan-kawannya masih asik bermain di luar dengan ayunan, lompat tali, atau sekedar main kejar-kejaran. Sapto memilih untuk tetap diam sambil menekuk kakinya ke belakang. Tidak ada yang boleh tahu bahwa ibu dan bapaknya tidak punya uang untuk membelikan sepatu setelah kemarin jebol tidak kuat menanggung usia. Tetapi dia tidak mungkin bohong jika ada yang bertanya. Cara yang paling tepat adalah jangan sampai ada yang bertanya. Agar mereka tidak bertanya, jangan sampai mereka tahu kalau dia tengah tidak memakai sepatu. Begitu Sapto menyimpulkan. Sehingga sejak berangkat, dia sudah memutuskan untuk tidak keluar kelas sampai semua kawan-kawannya keluar semua untuk pulang.
***
Mungkin kita tidak pernah menyaksikan sendiri, atau pernah menyaksikan sendiri tetapi tidak persis demikian. Apakah anda memiliki solusi untuk bisa berbagi? Sebagian besar dari kita hanya mengusap dada dan bergumam, "kasihan...". Kita merasa diri sebagai orang yang sudah berempati tinggi dengan hanya menggumam. "Ya mau gimana lagi?" Bela kita dalam hati.
Di Televisi sering kita saksikan liputan tentang kehidupan orang-orang yang tidak beruntung. Ada keluarga dengan penghasilan tidak seberapa harus berbagi betahan hidup bagitu banyak manusia. Liputan tersebut biasanya berakhir dengan pernyataan moral bahwa dalam keterbatasan manusia memiliki daya tahan luar biasa untuk tetap memiliki harapan, tetap optimis mentap masa depan, dan masih setia dengan moralitas kemuliaan.
Tidak jarang saya harus menahan rasa haru. Namun akhirnya luruh tumpah air mata begitu muncul di layar seorang anak yang mestinya gembira, terpaksa memotong kompas untuk harus bersikap dewasa. Namun jiwa anak-anaknya yang terluka tidak bisa sepenuhnya dia simpan. Tidak jarang kita dengar kata-katanya yang lugas, "saya juga kadang pingin makan pakai lauk ikan, bukan hanya garam dan daun-daunan saja..."
Saya masih menangis... ingin ku dekap dan ku sayang-sayang... tetapi jangkauan tangan dan langkah tak jua sampai ke sana. Hanya kepada Allah Tuhan Maha Segala saya selalu menangis dan mengiba, "Maafkanlah hamba yang hanya bisa mengumbar kata-kata..."
Syarif_Enha@JambidanKidul, 28 Juni 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H