Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Jadi Dewasa Prematur, Bahaya!

2 Mei 2020   01:11 Diperbarui: 2 Mei 2020   02:09 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salah satu perilaku alam yang seringkali gagal dicontoh oleh manusia adalah konsisten. Alam memiliki sifat konsisten dalam bersikap terhadap perubahan yang melingkupinya. Alam tidak pernah munafik apalagi menipu. Alam selalu apa adanya, dan selalu begitu dari dulu sampai kelak entah kapan. Dan manusia hampir selalu gagal mencontoh perilaku sikap alam ini.

Manusia dengan mudah berubah sikap dan pendapat begitu berhadapan dengan kenyataan yang berbeda. Manusia dengan modal pengetahuan dan pengalaman sehingga memiliki prediksi-prediksi suatu peristiwa di masa yang akan datang, memberikan kontribusi besar pada keputusan-keputusan yang diambilnya. Namun kadang idealisme yang dibangun sejak mula menjadi mentah dan tidak berarti apa-apa ketika mereka berhadapan dengan berbagai persoalan yang menjadikan mereka berubah sikap.

Kita tidak merasa heran dan asing, jika ada seorang anak muda berteriak keras ketika berorasi dalam sesi demonstrasi bahwa kaum tua banyak yang munafik karena telah bermuka dua dengan meninggalkan idealisme yang dulu mereka pegang. Begitu mereka masuk dunia kekuasaan, dengan serta-merta menjadi kaum kompromis yang sangat menjengkelkan. Selalu berlindung dalam kalimat berpikir realistis dan rasional. "Mereka pikir apa yang kita perjuangkan hanya utopia saja?! Bajingan betul mereka! Dasar munafik!"

Semua orang pernah menjadi anak-anak, namun tidak semua orang merasakan menjadi dewasa. Anak-anak memang harus dididik dengan idealisme, cakrawala yang ditawarkan harus jelas agar langkahnya terarahkan pada koordinat yang tepat. Ketika anak muda sudah dihadapkan pada pilihan cakrawala yang beragam dengan pertimbangan yang komplek, dia akan menjadi dewasa prematur yang justru berbahaya, karena ada kemungkinan dia akan menjadi orang tua yang terjebak dalam dunia anak-anaknya.

Ketika menjadi mahasiswa, kita diajarkan hitam putih dunia yang begitu jelas di dalam kelas. Mana yang baik dan mana yang buruk terpisah sedemikian kontrasnya. Sehingga sikap yang diambil begitu mantab, mana yang sebaiknya diambil dan mana yang semestinya dibuang sudah tergambar dengan sangat jelas. Tidak heran jika kemudian ketika mereka bicara sering meledak-ledak karena emosi terpompa dengan nalar yang sederhana demikian. Apakah itu keliru? Tentu saja tidak! Itulah yang disebut proses. Kelak, ketika mereka meghadapi kenyataan yang begitu kompleks, mereka dengan sendirinya akan melakukan penyesuaian. Penyesuaian inilah yang kelak akan menentukan kualitas konsistensinya. Apa yang akan dia sesuaikan, apakah idenya, ataukah cara-cara dia memperjuangkan idealismenya. Jika yang dia sesuaikan adalah idenya, dia akan lahir menjadi manusia baru, manusia yang munafik, namun jika yang dia sesuaikan adalah cara perjuangannya, maka dia sejatinya adalah seorang idealis yang progresif.

Bagi orang tua, cobalah berintropeksi. Apakah selama ini kita masih berpijak pada ide-ide yang ideal dan hanya memilih jalan yang berbeda, ataukah kita sudah menukar ide-ide yang ideal itu dengan takaran-takaran yang pragmatis yang hanya memuaskan nafsu dangkal manusia? Dari sinilah hendaknya kita mengukur konsistensi. Karena begitu juga dicontohkan oleh alam, ide yang diusungnya selalu sama, namun begitu kondisi yang dihadapi berbeda, ide itu tetap sama, namun ekspresinya berbeda. Laut, hujan, gunung dan sungai adalah satu kesatuan proses. Namun begitu kondisi berubah, misalnya ketika hujan turun deras, tetapi gunung sudah menjadi gundul, sungai menyempit dan dangkal, maka air hujan tetap akan mengalir sesuai ide dasarnya yaitu "kembali ke laut". Dia akan mengalir dengan berbagai cara yang mungkin, memenuhi jalan, menelusup melalui perkampungan, baik sendirian berupa banjir, atau sekaligus mengajak kawan-kawannya seperti lumpur-lumpur atau bagian tanah di bukit-bukit yang gundul berupa longsor dan sebagainya.

Konsistensi bukan berarti monoton tanpa inovasi. Konsistensi harus bermakna dinamis dengan menempatkan ide sebagai pokok pertimbangan, mengenai metode dan cara tergantung pada kondisi yang ada. Sehingga konsistensi tidak harus bersanding dengan makna kolot. [Syarif_Enha@Nitikan, 24 Juli 2015]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun