Iman merupakan parameter keshalihan manusia yang fluktuatif. Kadang menanjak menuju tingkat puncak keimanan, namun kadang juga terjun bebas ke titik terendah, bahkan hampir-hampir hilang terlepas. Iman adalah syarat bagi manusia untuk bisa menapaki jalan Tuhan. Lihat saja, Allah hanya memanggil orang-orang yang beriman untuk mendatangi-Nya dengan berbagai cara. Salah satu cara itu adalah puasa. Hanya orang-orang yang beriman dan yakin saja yang dipanggil Tuhan untuk berpuasa. Karena jelas, dari kualitas iman itulah puasa bisa dinilai.
Berpuasa adalah toriqot bagi manusia untuk berjalan menuju Tuhan. Puasa adalah bentuk persembahan puncak kepada Tuhan. Tidak ada pamrih apapun yang berhak disandang makhluq atas puasa yang dia kerjakan. Karena Tuhan sendirilah yang akan menilai dan mengganjarnya tanpa ada keharusan standar apapun.
Praktek puasa seringkali jauh dari semestinya. Puasa menjadi alasan bagi orang untuk malas dan tidak produktif. Puasa sering digunakan sebagai ajang transaksi dengan Tuhan agar diberikan lebih banyak karunia dalam kehidupan. Puasa telah diposisikan sebagai alat negosiasi, seolah Tuhan begitu membutuhkan puasa kita.
Puasa sebenarnya adalah perilaku yang alamiah atau sunnatullah. Lihat saja induk ayam yang mengerami telurnya. Dia menghangatkan telur-telurnya sepanjang hari sampai kurang lebih 21 hari. Ia hanya beranjak keluar untuk sekedar mencari makan agar tetap bertahan hidup. Tidak ada induk ayam yang mengerami telurnya mengalami kegemukan.Â
Ayam tersebut telah berpuasa. Ia melahirkan generasi baru. Perilaku puasa juga sering dinisbatkan kepada kepompong yang kemudian melahirkan kupu-kupu yang indah. Artinya puasa secara alamiah bisa dilakukan oleh setiap mahluq sehingga tidak ada alasan meninggalkan puasa karena ketidakmampuan.
Selain itu, gambaran di atas juga menggambarkan bahwa puasa memiliki hikmat yang besar ketika produk akhirnya adalah perubahan yang luar biasa yang dialami oleh pelaku puasa sendiri. Perubahan yang tentu saja adalah perubahan dari sesuatu yang kurang baik menjadi lebih baik, dari yang kurang indah menjadi lebih indah, dari perangai yang merusak menjadi perangai yang bermanfaat.Â
Begitu banyaknya keutamaan dan efek samping dari puasa yang kesemuanya positif, sehingga sudah semestinya puasa ditempatkan bukan hanya sebagai kewajiban dan beban, namun sebagai sebuah metode perubahan, baik individu maupun sosial.
Agar menjadi sebuah metode, apalagi terapi sosial, puasa mesti dikonsepkan sesuai dengan konteks yang relevan. Dalam birokrasi, puasa harus diformulasikan sebagai sistem efisiensi. Melakukan yang sangat urgent, penting, dan perlu. Selebihnya harus ditinggalkan. Dalam kehidupan keluarga, puasa berarti sistem saling percaya dan penghargaan yang tinggi.Â
Dalam konteks pergerakan, puasa mesti diformulakan sebagai tahapan proses yang fokus pada satu tujuan yang bukan berpusara pada diri, namun nilai. Sehingga gerakan apapun akan melahirkan revolusi. Karena revolusi hanya akan terjadi ketika tujuan itu sudah diamini dan diusahakan bersama oleh setiap orang yang berada dalam satu barisan. Gerakan yang ternodai kepentingan pribadi, hanya akan melahirkan macan ompong yang kemudian akan bereinkarnasi menjadi serigala yang mengalir air liur culasnya melihat mangsa.
Puasa memuat hikmat rahasia besar hidup yang dititipkan Tuhan kepada manusia. Tanpa mengecilkan nilai ibadah lainnya, kiranya layak jika puasa disebut sebagai ibadah yang radikal. [Syarif_Enha@Nitikan_2015]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H