Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keluar dari Legisme?

27 April 2020   00:27 Diperbarui: 27 April 2020   00:47 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara sederhana legisme dapat dipahami sebagai paham yang bersifat formalistik dalam memandang hukum. Hukum dipahami sebagai peraturan yang dinyatakan secara resmi oleh otoritas secara tertulis sehingga bisa dipedomani bersama sebagai tata kehidupan yang berlaku dan mengikat dengan adanya ancaman bagi setiap orang yang melanggarnya. Hukum sama dengan undang-undang.

Pandangan legisme ini seringkali menjadi bahan "ejekan" ketika para juris berdiskusi mengenai keadilan aneka macam tujuan hukum lain. Legisme dipandang sebagai pandangan kuno yang sudah harus ditingggalkan dalam praktek berhukum sekarang yang sudah dianggap maju. Namun sangat jarang yang kemudian memberikan solusi. Ketika dalam praktek beracara kita tidak bisa lepas dari legisme itu sendiri. Apalagi jika kita berbicara mengenai tata cara beracara di persidangan. Undang-undang menjadi satu-satunya dewa pelindung hak asasi manusia yang bisa diperjuangkan di dunia.

Pencarian keadilan dalam ajaran legisme, hakim dipandang dan berfungsi sebagai corong undang-undang. Bagaimana undang-undang menentukan begitulah hakim harus memutuskan. Meski secara filosofis hakim memiliki kemerdekaan dalam memutus setiap perkara yang ditangani, tetap saja, kemerdekaan hakim itu terikat dengan kaidah norma dan logika hukum. Legisme pada prakteknya tidak bisa ditinggalkan.

Beberapa konsep tandingan telah mencoba dikemukakan. Mulai dari hukum alam yang ideal universal, hukum integrative, sampai hukum progresif. Konsep-konsep berhukum tersebut disusun dengan satu tujuan agar norma hukum yang sudah paten tersusun dalam undang-undang tertulis tidak serta merta diterapkan, namun juga harus memperhatikan situasi dan kondisi di mana sumber persoaan itu timbul, sehingga hukum benar-benar mampu hadir sebagai solusi, bukan justru menjadi masalah baru.

Namun, pada prakteknya, pertanyaan akhir setiap sesi adalah siapa yang akan menghadirkan hukum dalam konsep-konsep demikian? Ketika seorang penegak hukum tidak boleh bersikap normatif, lalu apa yang bisa dijadikan pegangan sehingga hasil keputusannya bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan yang ilmiah?

Penyelidik memiliki kewenangan diponering, Penyidik memiliki kewenangan SP3, Penuntut memiliki kewenangan untuk membuktikan dan menuntut bebas, bahkan hakim harus menjatuhkan keputusan berdasarkan keyakinan. Pertanyaannya atas dasar apa mereka para penegak hukum itu bisa melakukan kewenangan itu semua? Kewenangan dan kewajiban itu semua sudah diatur dalam peraturan yang tertulis. Apakah jika seluruh aparat hukum itu menggunakan kewenangan itu kemudian dikatakan sebagai progresif? Pada dasarnya legisme, segala sesuatu harus dan mesti berdasarkan hukum tertulis adalah sebuah keniscayaan.

Jadi mengapa kita selalu mengejek legisme setiap bicara tentang nilai idealitas hukum? Tidak lain dan tidak bukan, karena kita tidak mampu menjangkau dan merumuskan dinamika pertimbangan di bawah sadar manusia? Bahwa setiap orang memiliki cara pandang yang unik dengan berbasis pada pengetahuan dan pengalaman masing-masing, pada ideologi yang diyakininya, dengan nilai-nilai hidup yang dijadikan dasar setiap langkah keputusannya, adalah fariabel yang tidak mungkin terumuskan. Prof Romli Atmasasmita menyatakan, hanya Hakim yang bisa membawa praktek hukum keluar dari legisme. Tapi, siapa yang bisa dan boleh serta dengan apa kita akan mengukur itu adalah kebijaksanaan dan bukan kesewenang-wenangan?

Maka, saya selalu menyatakan, manusia tidak akan menemukan keadilan yang bersifat mutlak selama ia hidup. Keadilan yang dapat dijangkau manusia adalah keadilan yang nisbi. Jadi, saya masih memahami bahwa tujuan hukum ada tiga, kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dan saya, memandang bahwa kepastian adalah tujuan utama. Melalui hukum, segalanya harus pasti. Keadilan yang dilahirkanpun haruslah keadilan berbasis kepastian hukum. Kemanfaatan yang lahirpun adalah konsekuensi dari lahirnya kepastian hukum.

Kalau kita tidak menjadikan hukum sebagai pedoman, dengan apa kita akan mengukurnya? Jadi, mau keluar dari legisme? Menurut saya kok tidak perlu. Bagi saya, legisme memiliki logika hukum paling konkret dan operasional. Setidaknya sampai saat ini.

Nitikan, 16 Oktober 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun