Mohon tunggu...
Syarifuddin Mandegar
Syarifuddin Mandegar Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Sosal Humaniora

bergabung untuk informasi sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wacana Liar Warung Kopi

27 Desember 2016   19:26 Diperbarui: 27 Desember 2016   19:34 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Warung kopi, bisnis yang satu ini tidak pernah lengang dari pelanggan. Aroma dan cita rasanya menggugah selera para penikmat Kopi dan membuat hati mereka enggan beranjak dari tempat duduknya, walau adzan memangggilnya untuk bersujud. sementara, kenikmatan cita rasa kopi adalah nikmat Tuhan yang patut disyukuri dengan dengan bersujud saat muadzin memanggil jiwa kita dengan suara merdu sang Muadzin. Tapi sudahlah, saya juga bukan Malaikat yang seolah sempurna dihadapan penikmat kopi lainnya. karenanya,  tidak ada waktu untuk menyentil hal-hal yang tidak sepatutnya dimuat dalam tulisan ini.

Tulisan ini hanya ingin mengajak nalar pembaca untuk membaca wacana liar para penikmat kopi. Tentu saja tidak lepas dari khasanah filosofis, dimana warung kopi bagi saya adalah ruang interaksi sosial baru yang mempertemukan ragam interaksi sosial, dari transkasi bisnis properti perumahan, elektronik, hingga transaksi perasaan dan tak kalah pentingnya adalah wacana liar hukum dan politik. interaksi-interaksi itu semuanya larut dalam cita rasa secangkir kopi. Meskipun disadari bahwa wacana yang lahir dari setiap pertemuannya itu tidaklah sesistematis seperti pada pertemuan-pertemuan formal.

Perbincangan demi perbincangan para penikmat kopi itu mengalir tanpa alur, bebas dan serta jauh dari sekat-sekat awam atau cerdas. Ragam wacana yang lahir dari setiap perbincangannya merupakan sinyalemen yang mengugah alam bawah sadar kita betapa kehadiran warung kopi ikut andil merawat perbedaan dan kemajemukan serta merawat persahabatan yang berjarak oleh karena kesibukan masing-masing. 

Ibarat tali, dimana pangkal dan ujungnya jika disambungkan akan membentuk sebuah lingkaran, siapapun yang masuk kedalamnya akan terikat oleh sebuah pertemuan bernama persaudaraan. Seabrek wacana liar tentang  politik, wacana hukum dan transaksi ekonomi yang terangkum didalamnya, meskipun terbilang bebas dan tanpa alur itu justeru menjadi sumber informasi dan pengetahuan baru. 

Tak ayal sebagian dari wacana itu silih berganti memadati halaman depan (headline) media, bahkan tidak sedikit dara wacana para aktivis itu berujung pada gerakan demontrasi. Ini suatu bukti bahwa warung kopi tidak bisa dipadang hanya sebatas tempat melepas penat akibat seharian beraktifitas, tempat bersenda gurau dengan  rekan sejawat atau hanya memanfaatkan fasilitas wifi gratis tapi kehadiran warung kopi telah membawa pergeseran sosial dalam membangun ikatan-ikatan sosial walaupun harus menguras isi dompet. 

Mungkin Anggapan sebagian orang, bahwa menghabiskan waktu di warung kopi adalah pekerjaan sia-sia karena hanya membuang-buang waktu dan menghabiskan uang. Sepintas, hal itu memang ada benarnya. Namun jika diteilisik lebih dalam, kehadiran warung kopi ditambah riuh wacana liar penikmatnya tidak hanya membawa mamfaat bagi pemiliknya tetapi secara tidak langsung warung kopi juga adalah sarana berbagi rejeki atau sedakah lewat sebuah istilah “traktir”. Mentraktir teman atau sahabat merupakan manifestasi bersyukur atas rejeki yang dikaruniakan Tuhan kepada kita. Persoalan amal ibadahnya diterima atau tidak,  itu adalah hal  yang mustahil dicerna dengan panca indera.

Persoalan pelik yang sering membuat kita kehilangan jiwa sosial adalah minimnya kemauan kita untuk berbagi terhadap sesama. Meskipun tidak semua yang kita miliki dapat dinikmati bersama dengan orang lain. Tapi paling tidak mengajak teman atau sahabat minum kopi bersama di warung kopi merupakan contoh kecil dari fungsi manusia sebagai makhluk sosial. kehadiran tempat sederhana bernama warung kopi itu bukan tidak mungkin dapat menciptakan ikatan-ikatan sosial baru lainnya seperti lahirnya pertemanan baru dengan orang yang bertemu dengan kita atau bisa juga karena teman yang kita ajak minum kopi juga mengajak temannya sehingga secara perlahan terbentuklah suatu ikatan-ikatan baru yang sebelumnya tidak terpikirkan.

Karena itu, kita bisa mengatakan bahwa Esensi warung kopi adalah magnet yang merekatkan kemajemukan persfektif dari sekian banyak wacana yang lahir dari perbincangan-perbincangan di meja kopi. Sesekali gelagak canda dan tawa para pelanggan seolah memberi isyarat bahwa tempat ini memberikan banyak kesan yang sulit untuk disembunyikan. Kata kuncinya, manusia-manusia terasing dari pentas kehidupan adalah mereka yang mencoba bersembunyi dari riuh ramai kehidupan sosial. manusia-manusia terasing, sangat pelit dan sulit untuk bersedekah meskipun hanya secangkir kopi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun