Mohon tunggu...
Syarifuddin Mandegar
Syarifuddin Mandegar Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Sosal Humaniora

bergabung untuk informasi sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Salman Al-Farisi

10 Mei 2017   22:51 Diperbarui: 10 Mei 2017   22:57 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis : Syarifuddin Mandegar (10/05/2017)========== Kali ini saya akan membincang seorang budak belian yang paling terkenal di era Rasulullah saaw. Adalah Salman Al-Farisi seroang budak yang sepanjang hidupnya ia persembahkan untuk mencari kebenaran. Dalam pencariannya jiwanya berontak terhadap Agama yang diwariskan kepadanya. jiwanya dirundung kerinduan yang dalam terhadap sosok Muhammad  hingga dia dengan tegas meninggalkan Agama Majusi yang diwariskan dari orang taunya. Akibat keteguhannya mempertahankan keyakinannya dia pun dikurung oleh ayahnya dalam rumah dan kakinya dirantai.

Meninggalkan Agama yang diwariskan dari kedua orang tua sejak lahir, bagi kita , merupakan sikap yang terbilang nekat, sebab sangat jarang diantara kita yang rela meninggalkan Agama yang dianut oleh kedua orang tua kita. Berbeda dengan Salman Al-Farisi, Dia justru tertarik berguru kepada seorang romo yang sekaligus menjadi sebab awal yang ia meninggalkan agama yang dianut kedua orang taunya. meskipun Tak lama berselangnya waktu, Salman Al-Farisi kemudian meninggalkan Romo itu kemudian mencari romo-romo lain untuk menguatkan keyakinannya dalam mencari kebenaran. 

Diakhir episode pencariannya tentang kebenaran, ia pun berjumpa dengan seorang romo lagi. Lalu romo itu kemudian menitipkan pesan kepadanya bahwa suatu saat nanti dari celah-celah bukit faran akan datang sosok Nabi yang membawa panji-panji kebenaran sebagaimana yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya seperti Nabi Isa as.

Pesan sang romo itu membakar semangat Salman Al-Farisi dan tanpa basa-basi ia pun melanjutkan pengembaraannya mencari kebenaran menuju daerah Yastrib. Sesampainya di yastrib, ia bekerja dikebun kurma milik seorang Yahudi dalam posisinya sebagai budak. Salman pun menjalani hari-harinya di kebun kurma. Suatu hari diatas pohon kurma, ia mendengar anak majikannya bercerita bahwa saat ini ada seseorang yang baru datang ke Yastrib yang mengaku sebagai Nabi. Mendegar cerita itu, Salman lalu berteriak dengan lantang dengan luapan kegembiraannya karena orang yang ia nantikan telah datang.

Dengan perasaan bahagia ia pun bergegas turun dari pohon kurmanya lantas bertanya kepada majikannya kemudian dibalas dengan bentakan dan pukulan dengan dalih bahwa Salman hanyalah seorang budak dan tidak berhak ikut campur dalam persoalan kebenaran agama. Sikapnya yang tegar dan tak  mudah putus asa, Salman yang malang itu tak mengindahkan apa kata Majikannya.

Pengembaraannya yang penuh perjuangan itu berbuah manis saat ia bertemu Sosok Rahmatan Lil Alamin yakni Sosok yang tidak hanya dirindukan oleh Salman seorang diri namun juga dirindukan oleh semesta dan kehadirannya telah merubah yang gelap menjadi terang benderang. Sosok itu adalah Rasulullah Muhammad saaw.

Ditengah perjumpaannya itu, lalu Rasulullah mengganti namanya dari nama sebelumnya yakni Salman Al-Farisi atau Salman dari persia menjadi Salman Al-Muhammadi dan Rasulullah menginstruksikan kepada seluruh penduduk Yastrib jangan panggil lagi dia Salman Al-Farisi tapi panggillah dia Salman Al-Muhammadi atau Salman dari keluarga Muhammad. Ditengah budaya Orang-orang pada era yang sangat membanggakan keturunan atau keluarganya, namun Salman dengan percaya diri memperkenalkan dirinya  ketika ditanya siapa engkau, ia pun menjawab dengan suara lantang aku adalah putra Islam dan Nabiku memberiku nama Salman Al-Muhammadi.

Nama Al-Muhammadi yang ia sandang dibelakang namanya telah mengukuhkan Salman Al-Farisi sebagai pedang tajam yang akan mengunjam feodalisme yang telah lama mengakar dikalangan penduduk Yastrib kal itu. Hal ini juga, secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa Salman al-Farisi telah berdiri tegak melawan tirani feodalisme.

Salman adalah simbol yang menghapuskan sekat-sekat kesukuan, sekat-sekat rasisme.  Bagi Salman, kemuliaan disisi Allah bukanlah darimana kita berasal tapi bagaimana mengikatkan diri kita dengan Tuhan. Bukan hanya itu, Salman pernah menjadi seroang Gubernur yang sangat sederhana, ia rela menghibahkan jabatan Gubernurnya untuk melayani rakyatnya, karena bagi dia bahwa tugas seorang pemimpin adalah melayani rakyatnya. Seorang pemimpin bukanlah mereka yang hanya populis ditengah kelompoknya lantas membenci kelompok lain hanya karena perbedaan politik dan mengorbankan nasib rakyatnya.  Salman menghapuskan sekat-sekat itu dan menegakkan nilai kemanusiaan ditengah-tengah rakyat yang ia pimpim.

Barangkali diantara kita berpikir, Era Salman berbeda dengan Era yang kita hadapi saat ini, Salman hidup bersama Rasulullah sehingga wajar kiranya jika Salman mendapat posisi yang penting disisi Rasulullah. Menyembunyikan kelemahan dibalik tembok alibi memang tak sesulit mengakui ke-dhaifan diri kita. bahwa kita memang tak semasa Salman, namun tidak lantas membuat kita membelakangi Risalah Rasulullah yang melekat pada diri Salman. Secara Jazadi Salman telah tiada, namun kepribadiaannya tetap hidup ditengah-tengah manusia yang menggunakan akal sehatnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun