Jika pancasila adalah ideologi negara maka tidak ada alasan untuk menolak apalagi tidak menjalankan setiap silanya sebagaimana mestinya, artinya lingkungan sosial politik suatu negera tidak bisa dipisahkan dari ideologinya sebab ideologi adalah konsep universal antara interaksi sosial dan politik dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa itu sendiri.
Prahara Demokratisasi yang sedang dirasakan seluruh rakyat Indonesia saat ini tentu saja bukan hadir tanpa sebab, tetapi situasi itu adalah bentuk varian dari tafsir relatifitas kebenaran Ide-ide para elit bangsa ini dalam mengejahwantahkan ajaran pancasila dengan beragam pendekatan yang sama sekali tidak mencerminkan nilai universal dari pancasila itu sendiri.  Kompetisi kekuasaan bukan lagi berdiri diatas kehormatan kemanusiaan yang adil dan beradab tetapi liberalisasi politik telah jauh melampaui hukum kebenaran akal dan telah menjadi trend baru dalam membangun relasi-relasi pragmatisme Sosial-Politik  yang sama sekali jauh dari substansi politik sebagai jalan untuk menciptakan kebajikan-kebajikan sosial.
Kita semua telah mafhum bahwa Tujuan pembangunan politik adalah melahirkan ciri-ciri umum demokrasi Pancasila menuju tatanan kehidupan sosial yang berujung pada kembalinya harkat dan martabat politik yang manusiawi tanpa mengabaikan perbedaan-perbedaan pandangan sebagai kekayaan intelektual kebhinekaan dimana asas tunggal Pancasila tidak terpisahkan dari Roh Demokrasi yang  selalu hidup disetiap dimensi-dimensi sosial-politik bangsa Indonesia.
Tafsir pluralisme yang melahirkan keragaman pandangan terhadap pancasila memang patut dimengerti karena disebabkan perbedaan sudut pandang pemikiran, dasar keilmuan yang melandasi serta konteks situasi dimana pemikiran tersebut dikemukakan. Namun pemikiran manusia itu tidak bisa statis pada satu faksi fundamental tanpa adanya tafsir tunggal yang bersifat universal tentang esensi pancasila kemudian melambaga secara terus menerus kedalam jiwa ke-Indonesiaan.
Pancasila harus dipahami sebagai kurikulum Sosial-Politik untuk menjamin terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai hal yang sangat fundamental untuk menciptakan situasi sosial-politik bermartabat. Esensi ini sebenarnya sedang tergerus oleh kompetisi sosial-politik ke-Indonesiaan kita yang  sedang melampaui batas nilai-nilai kemanusiaan, dimana kepentingan pragmatisme individu dan kelompok pada kekuasaan telah menjadi legalitas kebenaran para pemangku kepentingan dan pancasila pun harus meradang menahan badai dramaturgi politik yang sulit dielakkan.Â
Telah terbukti di Tahun politik 2017 ini, betapa euforia politik pragmatisme telah menggantikan posisi keagungan nilai-nilai pancasila dengan kekuatan market politik bebas nilai telah merusak struktur sosial-politik yang sejatinya berjalan sebagaimana amanah Pancasila. sosial capital (Organisasi Mahasiswa dan Pemuda) yang diharapkan sebagai oposisi atas market itu juga ikut andil menambah keruh problem keadilan dan kesejahteraan bangsa ini, akibatnya pola komunikasi depensif sering menjadi senjata paling ampuh yang senantiasa bersembuyi dibalik identitas-identas idealisme sehingga kenyataan itu bisa kita sebut sebagai sesat pikir bernegara dan anehnya, publik pun ramai-ramai memberikan aplous atas kesesatan itu.
Sadar atau tidak, Kurikulum Sosial-Politik yang menempatkan pancasila sebagai tolak ukur berdemokrasi berbanding terbalik dengan fakta-fakta sosial-politik dimana asa setiap silanya hanyalah sekedar teks-teks tanpa realitas. Inilah Indonesia yang selalu disanjung karena kaya akan sumber daya alam tetapi miskin manusianya.
Dengan situasi sosial-politik yang sedang sakit sekarang ini, sudah  saatnya menciptakan gerakan baru untuk menjernihkan situasi ke-Indonesiaan kita yang sedang keruh ini dengan mengembalikan cita-cita bangsa ini kepada ideologinya. Walaupun disadari bahwa cita-cita itu bukan hal yang mudah untuk mewujudkannya, namun bukan berarti kita harus berdiam diri tanpa perlawanan, tentu saja perlawanan yang dimaksud bukanlah perlawanan fisik karena kita tidak sedang berhadapan dengan senjata tetapi kita sedang berhadapan dengan kebodohan massif. Artinya gerakan yang dibangun adalah gerakan Intelektual yang independen. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H