Mohon tunggu...
Syarifuddin Hemma
Syarifuddin Hemma Mohon Tunggu... wiraswasta -

Sebatas yang saya pahami tentang asal muasal, dinamika dan tujuan hidup ini

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tradisi Intelektual Islam (Bagian 4; Selesai)

24 Desember 2014   17:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:33 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sumber Pengetahuan

Sekali lagi, pengetahuan merupakan niscaya adanya bagi manusia. Setidaknya, manusia mengetahui keberadaan dirinya. Memahami sumber mata air pengetahuan bisa membantu menghindari penilaian bahwa “sesuatu yang tidak diketahui berarti ketiadaan.” Membatasi sumber pengetahuan pada alam yang dipersepsi oleh indra berarti menafikan alam di luar alam indrawi (metafisika). Sehingga timbul penilaian: apa yang tak bisa dipersepsi oleh indra pada alam materi berarti ketiadaan. Menafikan adanya Tuhan yang Maha Esa, malaikat, dan alam barzakh merupakan sekian dari konsekuensi panilaian ini.

Alam materi yang hanya dapat dipersepsi oleh indra merupakan salah satu sumber pengetahuan. Dengan indra ini, manusia dapat mengetahui pohon, hewan, dan benda-benda lain dengan berbagai bentuk, warna dan sifatnya yang kongkrit. Sumber pengetahuan ini bisa diidentifikasi dengan berbagai karakteristik khas seperti memiliki bentuk, materi, volume atau massa dan menempati ruang. Sebagaimana uraian sebelumnya, meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa ialah hal yang tidak mungkin ketika hanya membatasi diri pada sumber pengetahuan ini. Dia Yang Maha Sempurna mustahil dibatasi oleh bentuk, ruang dan waktu sehingga tidak mungkin membuktikan ada-Nya hanya dengan menggunakan mikroskop di laboratorium.

Pada sumber kedua, memiliki beberapa kesamaan dengan alam materi atau segala yang dipersepsi oleh indra. Namun bedanya, jika di alam materi segala entitas menempati bentuk, volume, massa, ruang dan waktu, maka pada sumber ini hanya berupa bentuk dan tak menempati ruang, apalagi volume atau massa. Oleh sebab itu, efek yang ditimbulkan berbeda. Sumber ini disebut imajinasi atau dalam bahasa umum disebut khayal. Dalam lingkup ini, manusia mampu merancang bentuk rumah dalam benaknya sebelum dibangun di alam materi yang menempati ruang dan volume atau massa tertentu. Perubahan bentuk di benak bisa berlangsung seketika tanpa harus melewati proses dan memerlukan waktu sebagaimana merubah bentuk bangunan rumah di alam materi.

Sumber ketiga ialah wahm. Sumber pengetahuan ini sama sekali tidak memiliki unsur material baik berupa bentuk apalagi volume yang menempati ruang dan waktu. Dari wahm manusia mampu memahami sesuatu  yang abstrak seperti keindahan, cinta, keadilan, kebaikan dll. Abstrak dalam arti jati dirinya tidak kongkret sebagaimana entitas material yang mudah ditunjuk. Jika wanita yang ada di hadapan anda itu indah karena hidungnya, matanya atau pakaiannya, Plato lalu bertanya, mengapa gunung yang anda lihat juga tampak indah namun tak memiliki mata, hidung dan pakaian? Di manakah keindahan itu?

Meskipun entitas keberadaan (ekstensi) pengetahuan indra di alam materi sehingga bisa ditunjuk namun pengetahuan indra tetap ada dalam benak manusia, yaitu berupa gambaran yang dipersepsi dari alam materi. Adapun ekstensi dan pengetahuan imajinasi, keduanya dalam benak. Bagi wahm, ekstensi dan sumber pengetahuannya juga di dalam benak namun bisa dipredikatkan di luar dirinya. Contohnya: bentuk rumah yang saya rancang di benak saya indah sekali atau perempuan yang berdiri di hadapan saya cantik sekali. Salah satu karakteristik wahm dan imajinasi ialah tidak bersumber pada realitas eksternal sebagaimana pengetahuan indrawi. Sehingga keduanya bisa membawa manusia terbang dengan ‘liar’ tanpa pijakan realitas. Menganggap atau bahkan menuding Tuhan itu tidak adil karena ketidakadilan dan kedzaliman dalam setiap episode sejarah manusia adalah salah satu akibat dari sikap tanpa pijakan realitas (kebenaran)

Adapun sumber terakhir, bahwa sumber pengetahuan dari dalam benak manusia yang berupa akibat dari perbandingan pengetahuan indra, imaji dan wahm. Akibat dari perbandingan ini ialah adanya hubungan. Inilah kerja akal. Hasil dari kesimpulan akal dari "menghubungkan" ini bisa dipredikatkan di luar dirinya termasuk alam materi. Contoh: ketika indra menangkap api membakar kertas, maka akal menangkap hubungan “sebab-akibat” atau kausalitas dari api dan kertas yang dilihat. Contoh kedua: ketika imaji menggambarkan bahwa ada dua Tuhan yang menciptakan alam semesta ini. Akal menangkap hubungan dan menarik kesimpulan bahwa: jika ada dua Tuhan, maka dua Tuhan pasti saling membatasi. Dan jika kedua Tuhan itu terbatas maka keduanya tidak bisa disebut Tuhan. Pencapaian yang diperoleh oleh akal ialah: mustahil ada dua Tuhan.

Dalam tradisi tasawuf Islam, hati (qalb) menjadi inti dari pencapaian pengetahuan. Sebagian sufi meragukan akal bahkan tidak menggunakannya sebagai sumber dan mengandalkan pada penyucian hati. Namun sebagian yang lain, seperti Sadra Al Muta’allihin, menemukan keharmonasian antara keduanya yang juga didukung argumen dari Alqur’an dan hadist. Dengan demikian, untuk meniti jalan spritual tidak harus meninggalkan akal, dan untuk menjadi rasional tidak harus meninggalkan penyucian hati. Bahkan keduanya saling membutuhkan untuk mencapai kebenaran hakiki. Karena tulisan ini hanya fokus pada dimensi intelektual, maka uruaian dimensi spritual seperti penyucian hati tidak dijelaskan di sini.

Landasan Kebenaran

Sebenarnya di atas prinsip apa manusia berpijak dalam setiap argumen? Di atas prinsip kebenaran? Jika demikian apa kriteria prinsip yang mewakili kebenaran itu? Adakah argument yang menjadi sandaran kebenaran bagi semua argumen agama, politik, budaya dll,? Jika jawabannya negatif, maka implikasinya pada subjektifisme dan relativisme. Namun jika jawabannya positif, kita bisa melanjutkan diskusi ini karena adanya paramater objektif. Dalam ranah akedemik, tiap orang tidak boleh seenaknya membuat rumusan matematis seperti 1 + 1 hasilnya bisa 3 atau 5 dst. tergantung perspektif masing-masing.

Jika kita telusuri dalam logika misalnya, argumen atau pernyataan ialah susunan kata-kata yang terdiri dari subjek, penghubung (kopula) dan predikat. Pernyataan keluar umumnya dari sebuah aktivitas pikiran yang berfungsi sebagai penarik kesimpulan. Kesimpulan yang dicapai oleh pikiran dinyatakan dengan kata-kata yang tersusun sehingga bermakna dan jadilah pernyataan. Pernyataan itu bisa konstruktif atau informatif. Karena pikiran menarik kesimpulan, maka tentunya ada yang ditarik. Yang ditarik ialah pengetahuan sebelumnya yang juga berupa pernyataan. Contohnya, pernyataan "Setiap Nabi menerima wahyu" dan pernyataan "Muhammad menerima wahyu". Dari dua pernyataan tersebut, oleh pikiran, melahirkan pernyataan baru sebagai kesimpulan, yaitu "Muhammad adalah Nabi". Jadi dalam konteks ini, pikiran tak dapat melahirkan kesimpulan atau pernyataan baru tanpa adanya beberapa informasi atau pernyataan yang sebelumnya.

Contoh di atas merefleksikan kerja pikiran menarik kesimpulan dari beberapa pernyataan sebelumnya atau selainnya. Namun jika kita menarik kesimpulan bahwa "setiap pernyataan ialah kesimpulan yang berasal/ ditarik dari pernyataan selainnya", maka ini akan absurd. Artinya kita percuma mencari akar atau awal semua argumen karena terjadi siklus (daur) yang tak berawal. Setiap kesimpulan pasti ditarik dari pernyataan selainnya dan seterusnya hingga tak berujung/ berawal. Akhirnya pernyataan ini juga menafikan adanya proses berpikir (penarikan kesimpulan) yang meniscayakan adanya awal (informasi pendahulu) dan akhir (kesimpulan). Secara singkat, ketiadaan tidak mungkin melahirkan keberadaan.

Di sisi lain, apakah argumen "setiap kesimpulan ialah pernyataan yang ditarik dari selainnya" adalah pernyataan awal atau bukan? Jika awal, maka gugurlah kandungan argumen tersebut. Jika bukan awal, maka maka argumen tersebut ditarik oleh pernyataan selainnya yang meng-awal-i pembuktian argumen tersebut. Artinya, keberawalan dari seluruh silsilah argumen atau tahapan keberpikiran ialah niscaya, harus, wajib atau pasti adanya.

Jika ditelusuri lebih dalam, argumen yang paling awal ialah argumen yang tak lagi butuh pada proses berpikir karena saking jelasnya. Jika proses keberpikiran berarti aktivitas akal yang memanfaat argumen-argumen yang telah diketahui kebenarannya untuk membuktikan yang belum diketahui kebenarannya, maka pada sesuatu yang sangat jelas kebenarannya, proses keberpikiran tidak lagi dibutuhkan. Melawan keberawalan ini berarti menjatuhkan diri ke jurang skeptis. Contoh argumen yang tak butuh proses berpikir ialah "Aku (adalah) ada". Jika saya meragukan atau bahkan menafikan pernyataan ini, berarti membuat seluruh pernyataan saya dalam tulisan ini tidak lagi berguna, percuma dan nihil karena bersal dari  yang "tidak ada". Ketika kita memperhatikan subjek (aku) dan predikat (ada), seketika akal memahami hubungan keduanya yang pasti benar tanpa perlu pada penalaran lagi.

Pernyataan "Aku berpikir maka aku ada" tidak menggugurkan argumen "aku ada" sebagai argumen yang jelas (aksiomatis) karena argumen ini meniscayakan teknis penyusunan subjek dan predikat yang secara substansi bisa dibalik. Setiap manusia yang berargumen "Aku berpikir" telah menyadari atau mendeklarasikan dirinya "Aku ada". Karena secara ontologis, tidak mungkin seseorang berpikir tanpa ia eksis (ada) lebih dahulu. "Lebih dahulu" bisa dari segi waktu maupun dari segi sebab-akibat (kausalitas). Jadi secara teknis bisa dibalik menjadi “Aku ada maka aku berpikir”.

Pada tahap selanjutnya, dalam kajian epistemologi, khususnya dalam Filsafat Islam, kita mendapatkan istilah pengetahuan teoretis dan aksiomatis. Teoretis ialah pernyataan-pernyataan yang berupa kesimpulan dari proses berpikir. Adapun aksiomatis merupakan pernyataan-pernyataan yang tidak melewati proses berpikir seperti pernyataan "setiap akibat butuh pada sebab" dll. sebagian pernyataan merupakan kesimpulan dari pernyataan selainnya dan sebagian lainnya terbukti kebenarannya dengan sendirinya (self-evident).

Secara singkat, seluruh argumen aksiomatis merupakan jelmaan dari prinsip-prinsip aksiomatis seperti prinsip non-kontradiksi dan identitas. Secara teknis dan detail, kedua prinsip ini dijelaskan dalam logika atau filsafat. Seperti “Mustahil Tuhan mengutus sekaligus tidak mengutus nabi Muhammad pada saat dan segi yang sama”. Kebenaran pernyataan ini secara self-evident hadir dalam akal tanpa memerlukan  pembuktian. Sekali lagi, ini berbicara komponen/ susunan argumen bukan materi argumen seperti apa benar Tuhan dan nabi itu benar-benar ada dst. Materi argumen ini bisa ditemukan kajiannya seperti dalam Filsafat Ketuhanan, Filsafat Agama atau Kenabian.

Kembali lagi pada kedua prinsip aksioma yang menjadikan argumen jelas kebenarannya oleh akal sehat. Sedemikian jelasnya sehingga tak butuh pembuktian lagi, dengan demikian  tidak mungkin salah dan kebal dari kritik. Kebal dari kritik bukan karena tidak boleh dikiritik secara praktis  tapi kandungannya memang tak memiliki cacat. Dengan demikian, kekuatannya layak menjadi pondasi bagi seluruh bagunan argumen teoretis.

Penutup

Apa yang terjadi jika dalam di setiap kebutuhan masyarakat atau individu tidak terdapat etos intelektual sebagai pondasi kemandirian? Jangankan iman sebagai hal yang mendasar bagi kebutuhan spiritual manusia, sains misalnya, adalah hal yang tak pernah kosong dari kebutuhan di setiap lapis masyarakat. Namun sains tanpa etos ilmiah (tradisi observasi, penelitian dll), masyarakat hanyalah sebagai masyarakat konsumtif yang hanya belanja teori, prodak, hingga membeli para ahli dan akhirnya sumber daya alamnya terkuras hanya untuk melayani budaya konsumtif ini.

Dan terjadilah gerak kembali (kemunduran umat Islam) yang diwujudkan dalam tradisi menghafal, karena ulama-ulama kita terdahulu hanya menghafal saja. Kebetulan perkataan Indonesia “hafal” berasal dari bahasa Arab hafadza artinya ‘memelihara’, sekedar memelihara dan tidak mengembangkan. Padahal konsep pendidikan pada agama kita adalah tarbiayah. Secara etimologis kata ‘tarbiyah itu dari rabwatun yang berarti bukit, atau fenomena yang menonjol di atas daratan, maka “tarbiyah” identik dengan development, yakni meningkatkan. Oleh sebab itu, pengetahuan harus merupakan suatu usaha terus menerus secara simultan yang tidak berhenti, karena ilmu pengetahuan tidak pernah selesai. Barang siapa yang menganggap ilmu pengetahuan telah selesai, berarti ia mengklaim telah sampai kepada Tuhan. Tuhan yang mutlak itu menjadi nisbi, dan itu adalah indikasi syirik

Kesimpulan

Kebangkitan (renaisans) umat Islam tidak bisa sekedar diukur dari kemajuan industri, kesejahteraan ekonomi dan perkembangan teknologi. Hal ini dikarenakan oleh pandangan dunia Islam merefleksikan kesempurnaan hakiki sebagai tujuan bagi segenap manusia. Tujuan yang adiluhung ini menuntut seseorang mengaktual seluruh potensi kemanusiaanya melampaui sekat-sekat material. Inilah perjalanan spritual-intelektual manusia yang justru membebaskan dirinya dari ketergantungan dan ketundukan pada materi. Teologi pembebasan ini, sekali lagi, tidak menafikan materi sehingga umat Islam tidak harus miskin dan gagap teknologi. Namun sebagai agama yang memiliki tujuan tertinggi, materi bukanlah ukuran kebangkitan, kemajuan apalagi kebangikatan umat Islam.

Kesempurnaan manusia sebagai bagian dari umat atau masyarakat ditentukan oleh aktualisasi segenap potensi kemanusiaan yang dimiliki. Artinya semakin ia mendekati alam ruhani (spritualitas dan pemikiran), semakain ia terbebas dari belenggu material. Agama Islam hadir tidak untuk menjadikan umatnya terpisah dari materi, namun agama ini hadir untuk membimbing manusia memanfaatkan alam materi ini untuk mengaktualkan derajat-derajat kesempurnaannya yang hakiki.

Meminjam kata-kata penulis buku “Tafsi Sufi” (Lentera: 2003), Musa Kazhim, sebagai agama masa depan, Islam mestilah memiliki pandangan dunia dengan sendi logis-rasional yang utuh dan emosional-spritual yang kaya, mengandung gagasan-gagasan yang mendalam dan menghujam, tidak saling beradu dan bebenturan, serta mengandung cita-cita  besar dan suci. Agama masa depan, mesti mampu menjelaskan semua ajarannya dalam bentuk penuturan logis-filosofis yang lancar dan memuaskan, tidak dalam bentuk yang dipaksakan dan dibuat-buat. Agama yang demikian ini juga harus bisa menghadirkan harapan dan kegairahan spritual bagi manusia, sedemikan sehingga manusia dapat merasakan adanya makna di balik perjalanan hidupnya yang serba singkat dan sarat-penderitaan ini.

Berbeda dengan agama lainnya yang memisahkan tradisi intelektual dari ajarannya, bahkan tidak mendapat tempat sedikit pun di dalamnya, Islam hadir dengan pandangan dunia yang bersendi logis-rasional. Berbeda juga dengan ideologi lainnya yang hanya memandang dunia ini sebatas materi demikian pula cita-citanya, Islam justru turun untuk membaskan manusia dari keterkungkungan dan penyebahan pada materi menuju yang kesempurnaan hakiki. Perjalanan menuju kesempurnaan, dalam pandangan dunia Islam, merupakan perjalanan intelektual dan spritual yang melahirkan para pemikir besar dengan karya-karya monumental yang kaya dengan konstruksi argumentasi yang kokoh. Konstruksi argumentatif yang dinilai objektif dan terukur ini membuat pandangan dunia Islam senantiasa terbuka untuk diuji dan dibandingkan dengan pandangan ideologi lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Alqur’an

A. W. Munawwar. Kamus Al Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif. 1997

Departemen Pendidikan Nasional, KBBI , Edisi IV. Jakarta: Balai Pustaka. 1994

William C. Chittick, Kosmologi Islam dan Dunia Modern, Bandung: Mizan. 2010

Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam “Tsaqafah”, Gontor: ISID. 1426

Amien Rais, Hubungan antara Politik & Dakwah, Bandung: Mujahid. 2004

Amien Rais, Membangun Kekuatan di atas Keberagaman, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. 1998

Ali Syariati, Tugas Cendikiawan Muslim, alih bahasa Amien Rais, Jakarta: Rajawali.1987

Seyyed Hossen Nasr, Intelektual Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009

Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam, Jakarta: Sadra Press. 2010

Wagiman, Pengantar Studi Logika, Yogyakarta: Pustaka. 2009

Nurchalis Madjid, Pesan-pesan Takwa, Jakarta: Paramadina. 2005

Mustafa Bisri, Melihat Diri Sendiri, Yogyakarta: Gama Media. 2003

Mohammad Hatta, Alam Pemikiran Yunani, Jakarta: UI. 2006

Musa Kazhim, Tafsir Sufi, Jakarta: Lentera. 2003

Nurcholis Madjid, Menuju Universal Islam yang Bermutu, Jurnal Tsaqafah, Ponorogo: ISID Gontor, vol. 2, No. 1, Syawal 1426-R. Awal 1427, hal. 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun