Mentari Idul Fitri terbit diiringi kumandang takbir dari berbagai masjid dan mushalla. Si Budi, ibu, ayah dan pamannya keluar dengan pakaian baru berjalan menuju tempat sholat id. Sambil menunggu sholat dimulai, si Budi bergabung dengan teman-temannya yang nongkrong di salah satu sudut pekarangan masjid. Di sana ia membakar ujung batang rokoknya yang asapnya mengepul pertama kalinya di pagi hari setelah sebulan berpuasa.
Hidangan segar pun menyambut si Budi ketika kembali ke rumah. Beberapa kue toplesan yang dihindangkan untuk tamu tidak lepas dari cengkramannya. Belum selesai perutnya mencerna, si Budi dan keluarga berjalan menuju rumah-rumah para kerabat dan tetangga. Hanya dengan kode “silahkan dicicipi”, tangan kanan si Budi pun menerjang isi toples yang dijangkaunya satu demi satu. Demikian yang tejadi di rumah-rumah berikutnya. Pulang ke rumah, makan siang pun dihidangkan. Meskipun nafsu makannya masih ingin, tapi tampaknya kondisi fisik si Budi tak lagi kuat. Pada hari yang dikenal “kembali pada kesucian” itu, mungkin tidak kurang dari 5 piring yang masuk ke perut. Entah berapa kue dari toples yang ikut masuk ke perutnya. Benar-benar hari “kemenangan.”
Pada hari kedua, beberapa kerabat jauh datang ke rumah si Budi. Timbul ide dari paman si Budi untuk membuat acara bakar-bakar ikan di malam hari. Si Budi akhirnya langsung melesat dengan motor Honda Supranya ke pantai mencari ikan segar. Ibu dan bibinya membuat sayuran, ayah dan pamannya menyiapkan alat pembakaran. “Sudah lama saya tidak makan ikan bakar”, kata si Budi dalam hati sambil merasakan nafsu makan yang kembali mengguncang setelah tertidur lelap. Kembali dari pantai, si Budi duduk melantai di sudut teras rumahnya yang semakin ramai. Ia terdiam sendiri dalam keramaian, merenung dan sesekali menjawab orang yang menyapanya dengan senyuman.
“Sepertinya ada yang ganjal dua hari ini,..” pikirnya, sambil mengamati pamannya yang berusaha menjadikan arang membara dengan api. Api yang mulai menyelimuti arang dipertahankan dengan dikipas berulang-ulang. Arang yang gagal terbakar kembali ditempa dengan api yang baru. Begitu seterusnya hingga arang diliputi dengan api sepenuhnya, melekat dan menyatu dengan api. Sedemikian menyatunya, sehingga arang itu adalah api itu sendiri. Arang yang bersifat api; panas dan membakar.
Hari-hari puasa selama sebulan yang baru dua hari si Budi lewati terngiang-ngiang di benaknya. Pagi hari ia berangkat kerja berbekal seporsi makan sahur yang dimakan 4 jam sebelumnya. Siang hari ia berjuang melawan haus yang mulai mendera tenggorokannya. Ketika adzan dzuhur terdengar, ia menuju masjid membasahi wajah dan kepalanya dengan air wudhu. Selepas sholat dhuhur, si Budi membaca dzikir, doa dan membaca Alqur’an. Hal yang berbeda ia lakukan di luar bulan Ramadhan yang langsung mencari warung makan setelah mengakhiri sholat dzhuhur.
Setelah mengaji secukupnya, si Budi menuju pojok masjid mencari tempat bersandar untuk membaca buku favoritnya. Ketika ngantuk datang, si Budi meletakkan tasnya di lantai, merebahkan tubuhnya dan meletakkan kepalanya di atas tas. Ia terbangun ketika bunyi sms masuk ke hpnya. Ternyata ia telah tertidur 30 menit dan ia harus kembali ke kantor setelah pesan singkat yang dibaca datang dari bosnya. Si Budi harus bekerja tiga jam lagi sebelum akhirnya ia kembali ke kostnya untuk mempersiapkan buka puasa. Setelah berbuka puasa, ibadah Ramadhan, si Budi kembali membaca bukunya yang belum selesai dibacanya tadi siang dan mempersiapkan pekerjaannya untuk esok hari. Praktis si Budi hanya makan dua kali sehari untuk aktivitas yang cukup banyak. Demikian si Budi menjalani hari-hari puasanya selama sebulan, meskipun terkesan berat namun ia melewati dengan pikiran yang tenang dan produktif.
Apa yang terjadi setelah mentari hari raya itu terbit? Si Budi hanya makan, tidur, nonton TV, merokok, ngobrol, main HP, ngopi, dan kembali tidur lagi setelah kekenyangan. Tidak seperti di bulan puasa yang bisa melahap beberapa halaman buku & Alqur’an, kini membaca 1 halaman saja dalam sehari begitu berat.
“Bud, ayo makan...” kata bibinya membangunkan lamunan Budi. Mata Budi langsung tertuju ke deretan hidangan ikan bakar yang sudah dikelilingi keluarganya. Tanpa embel-embel doa pembukaan, Budi melahap 2 ikan dan 2 piring nasi. Ketika ia makan dengan lahap, Budi semakin menyadari bahwa ia sedang terjatuh dalam kesadaran hewaninya setelah sebulan ia merasa berhasil mengendalikannya. Sedemikian ‘buasnya’ kebangkitan hewani ini, sehingga kecenderungan manusiawinya ambruk seketika. Demikian kondisi jiwa yang ia tempa selama sebulan. Gerak inteleknya mandek, kesadaran spiritualnya tumpul. Membaca buku jadi amat sangat malas, apalagi sholat, dzikir, doa dan seterusnya.
Jika untuk menjadikan arang memiliki sifat panas dan membakar layaknya api butuh proses bagaimana dengan perubahan tabiat atau gaya hidup? Budi linglung dan semakin menyadari apa yang terjadi pada jiwanya. Jiwa ialah syarat gerak manusia. Tanpanya, berarti manusia bergerak minus kehendak, niat dan kesadaran. Sebagaimana robot yang bergerak karena sepenuhnya digerakkan dari luar dirinya. Tidak ada kedaulatan dan kemerdekaan dalam memilih jalan, sikap, tindakan, life style, kebiasaan atau karakter pribadi.
Dalam kamus Al Munawwar, tabiat manusia (Akhlak) berasal dari akar kata yang sama dengan kata penciptaan (Kha-lam-qaf). Si Budi teringat doa yang diajarkan sejak kecil ketika bercermin “Allahumma hassin khalqi kama hassanta khuluqi” (Ya Allah perbaikilah tabiat saya sebagaimana Engkau memperbaiki ciptaanku). Ciptaan yang dimaksud ialah bentuk atau apa yang tampak di cermin secara lahiriah. Sedangkan akhlak ialah bentuk, watak atau karakter jiwa seseorang. Doa itu juga menunjukkan bahwa akhlak manusia bisa dirubah.
Jika akhlak didefenisikan sebagai karakter jiwa yang dengannya tercermin kebiasaan hidupnya, maka setiap tindakan aksidental bukanlah termasuk akhlak. Dalam ilmu Logika, aksiden ialah sesuatu yang mewujud karena (menempel pada) selain dirinya. Sebaliknya, substansi mewujud karena dirinya sendiri alias mandiri. Pada kajian lainnya, substansi juga didefenisikan sebagai hakikat sesuatu.