Untuk kesekian kalinya dua pendekar papan atas dari parguruan ternama dan berkelas berhapan di atas panggung persilatan. Sayangnya, kali ini, pertunjukan seru ini dinodai dengan serangan ke lawan ketika “lonceng” belum dipukul. Selain itu ia juga menyerang wajah lawan yang merupakan wilayah terlarang. “Ada apa ini?” kata sebagian penonton tidak percaya dengan sikap yang tidak seharusnya dilakukan oleh sang pendekar. Blunder, kata sebagian penonton yang kecewa. Sikap yang tidak hanya melanggar aturan main tapi juga mencoreng derajat keilmuan pelaku. Dampak perbuatan pelaku telah menumpahkan ‘bensin’ yang membakar amarah masing-masing pendukung. Walhasil, pertunjukan yang seharusnya bisa menjadi tontonan indah dan menjadi pelajaran ini malah menjadi ajang saling mencela, tawur, perpecahan dan akhirnya jatuhnya wibawa perguruan yang selama ini dihormati.
Kira-kira demikian analogi ringkas tentang dinamika dua orang yang selama ini saya kenal cerdas, berpengetahuan luas dan bijak. Masing-masing dari mereka memiliki karya-karya yang mencerahkan, dalam dan terstruktur. Suatu hari pernah bertemu dan berdebat mengenai satu proposisi logika namun uraian masing-masing sangat rigit. Karena yang berdebat 2 pendekar filsafat, maka saya pun serasa mengikuti kuliah filsafat tingkat doktoral. Meskipun sedikit menegangkan, namun sajiannya indah dan mencerahkan. Saya tidak bisa menilai siapa yang kalah dan menang, karena “siapa sih saya?”. Dengan segala kekurangan dan kelebihan, keduanya mewarnai dunia intelektual dengan gayanya masing-masing. Keduanya membuka mata saya bahwa samudra ilmu-Nya memang kian tak bertepi.
Suatu hari, ketika mereka berselisih pendapat lagi, salah satunya mengambil sikap yang melunturkan rasa simpati saya selama ini. Hampir tidak saya percaya apa yang terjadi. Seorang yang puluhan tahun belajar ilmu yang menurut saya super kompleks seperti filsafat, tasawuf dan teologi, akhirnya saya anggap "KO" secara moral meskipun telah menjatuhkan habis-habisan lawan debatnya depan umum. Itupun tidak berimbang, karena lawannya membiarkannya ‘mengamuk’ tanpa meneladeni. Tidak sedikit yang ingin menghentikan perdebatan yang tidak sehat lagi ini karena memalukan dunia intelektual. Namun tidak sedikit juga yang bersorak riang gembiran dengan "kehebatan" jagoannya.
Debat atau adu argumentasi adalah hal wajar dalam mempertahankan pendapat. Debat adalah salah satu cara berargumentasi khususnya dengan jalan mematahkan argumen lawan. Menurut saya ini memang cara yang lebih “keras” di atara cara berargumentasi lainnya. Meskipun demikian, sekeras apapun debat ilmiah akan terlihat indah jika masih dalam koridor defenisinya. Namun bagi orang-orang yang bijak atau minimal telah melewati logika bab “kesalahan berpikir”, tindakan menyerang ke personal lawan bukan lagi serangan intelektual. Ini offside. Melumpuhkan argumen lawan seharusnya dengan argumen juga, bukan dengan menjatuhkan kapasitas intelektual lawan, mengungkit masa lalunya yang tidak relevan, dan tidak memberikan hak klarifikasi setelah menghantam habis-habisan depan umum. Kata Roma Irama, “ter..la..lu.”
Namun ini telah terjadi, para seporter fanatik tidak terhindarkan melampiaskan ekspresi kemenangan dan pembelaan yang tidak wajar lagi menurut akal sehat. Bangunan pandangan dunia keilmuan yang dibangun ribuan tahun tenggelam begitu saja dalam riuahnya fanatisme figuritas. Benar menurut siapa, bukan menurut realitas kebenaran itu sendiri. Loh, bukannya sang pendekar telah melampaui jauh jurus logika dasar ini? Tentu saja, jika belum melampaui mana mungkin disebut “pendekar” filsafat. Lagi-lagi fenomena dokter perokok, kiai cabul hingga hakim koruptor membuat saya siuman tentang fenomena ini. Adanya jarak antara ilmu dan realisasi juga merupakan fakta yang amat nyata dan jelas, namun tidak sedikit manusia yang pura-pura buta.
Cukup lama saya merenungi peristiwa yang cukup mencengankan ini. Peristiwa yang memberikan saya pesan bahwa untuk mencapai tujuan hidup tidaklah cukup dengan ilmu. Subjek ilmu yang saya anggap paling fundamental, sistematis, dan kokoh ini tidaklah menjamin juga. Ilmu hanyalah ilmu yang tidak memiliki efek kecuali mengusir kebodohan. Kebodohan memang harus diusir, karena ia kegelapan yang menutup jalan. Namun, bagaimanapun indahnya gambaran lokasi wisata dan analisis jalan menuju lokasi, jika tidak ada usaha untuk melangkah agar bisa sampai ke tujuan maka yang dinikmati hanyalah “gambaran” dan “analisis”.
Ilmu tentang sifat-sifat Ketuhanan berbeda dengan beakhlak, beramal, bekerja atau berprilaku sebagaimana sifat-sifat ketuhanan. Jika Tuhan ialah Sang Maha Sempurna, maka pesan orang bijak ialah “berakhlaklah sebagaimana akhlak Tuhan..”. Itulah tujuan kehidupan. Hal ini juga mengkonfirmasi tujuan diutusnya manusia-manusia suci sebagai pemimpin umat seperti kata nabi, “aku tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” Namun sekali lagi, juga sesuai dengan pengalaman masing-masing, berilmu tidaklah otomatis meyakini apalagi mengamalkan. Ketika sebagian manusia menghabiskan usianya untuk membuktikan adanya Tuhan dengan renugan, ribuan buku plus eksperimen, iblis telah berdialog dengan Tuhan. Sayangnya pengetahuan iblis tentang Tuhan tidak berbanding lurus dengan prilakunya. Dengan ilmunya, iblis menggugat Tuhan Yang Mahaluas ilmu-Nya, “Engkau jadikan aku dari api, dan engkau jadikan dia (Adam) dari tanah. Saya lebih baik darinya…”. Semesta pun geger, iblis blunder!
Meskipun jelas-jelas iblis jatuh dalam kesalahan, keangkuhan berhasil menjadi trend di masyarakat. Diminati banyak orang, lintas agama, mazhab, keilmuan, kelas, suku, dan menembus zaman. Di antaranya ambisi menjadi orang pintar, bisa menceramahi banyak orang, punya jadwal padat dalam mengisi seminar, mampu mematahkan argumen orang lain, meruntuhkan kesimpulan bahkan keyakinan orang lain, menulis karya banyak, terkenal sebagai intelektual, penulis dan seterusnya. Saya pribadi tidak luput dari rayuan itu dan masih meluap-luap, tapi entahlah mengapa saya juga gelisah dengan angan-angan yang (saya pikir) ujungnya akan memakan tumbal. Minimal diri saya sendiri. Jika mengenang masa-masa “renaisans” dalam hidup saya, label iblis memang sangat dominan. Kebangkitan pengetahuan justru menjauhkan saya dari nurani, bukan menyatukan dengan keinsafan yang seutuhnya. Sedemikian sehingga hanya iblis yang saya saksikan dalam diri. Cukup dengan “sok tahu” di depan orang-orang yang bertanya, indikasi iblis telah menjelma sebagai ustadz di suatu majlis sangat kuat. Dalam kasus ini saya mengingat guru yang berkata, “jangan sampai kita ingin berbuat sesuatu dalam rangka bertauhid, namun justru terjatuh dalam menyekutukanNya dengan menuhankan diri sendiri”. Ya Tuhan, sampai sini saya sudah sangat sekarat.
Pintu hati sering diketuk oleh pertanyaan yang kian hari kian nyaring. "Apa tujuan hidup ini sebenarnya?", "Apa yang seharusnya dilakukan dengan ilmu yang diberikan olehNya?", "Apakah untuk pamer..., untuk dikatakan orang bijak,... paling benar,... layak dipandang...?". Semakin diketuk, semakin takut dengan keadaan diri saya yang mungkin saja sebenarnya telah lama mati sebagai manusia. Hidup hanyalah menjalankan insting hewani yang berjubah manusia.
"Siapa yang bertambah ilmunya, namun tidak bertambah hidayah padanya, maka tiada yang bertambah kecuali bertambahnya jauh dari Tuhan," demikian pelajaran masa remaja yang selalu teringiang-ngiang hingga kini. Satu sisi saya berharap menimba banyak ilmu, tapi di sisi lain saya "takut" dengan ilmu yang bertambah. Semakin kokoh ilmu seharusnya memperkuat pondasi iman, namun ada saja celah sehingga orang menggunakan ilmunya untuk pasokan bagi nafsunya bukan untuk iman. Mungkin karena geopolitik (nafsu, iman dan akal) ini, sang pencari ilmu harus lebih menentukan prioritas dan bersandar pada yang fundamental sebelum sibuk mengurus sesuatu di luar dirinya. Masyarakat yang dicerahkan dengan cahaya akal akan melihat harapan, namun jika tercerahkan dengan cahaya nafsu yang terjadi hanyalah kegaduhan. Cahaya akal ialah cahaya yang nyata adapun cahaya nafsu hanyalah fatamorgana yang suka menampakkan surga meskipun palsu. Kitab Suci ditafsirkan dengan retoris dan menyihir hati umat, namun sayang keadaan makin gelap, runyam, gaduh, tak terarah, dan makin jauh dari ajaran Kitab Cuci. Ramainya manusia menggunakan simbol kesucian dan berkoar-koar di atas mimbar namun yang tampak hanyalah buih di lautan. Ramai, besar dan banyak namun tak berdaya untuk tak mengatakan tak berarti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H