Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Romantisme Puasa, Ada di Kantong Kanan

18 Juni 2015   21:39 Diperbarui: 6 Juni 2016   23:24 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sahur boleh menunya tempe. Buka puasa juga boleh menunya ikan asin. Tapi puasa semangatnya seperti ulama. Itulah romantisme puasa.

Puasa itu romantis. Karena berpuasa dasarnya cinta. Cinta pada Illahi Rabbi, Sang Maha Pencipta. Di bulan puasa, tiap kita bisa terbuai dalam bujuk rayu, bermesraan dengan-Nya. Keadaan yang sulit dilakukan pada bulan-bulan yang lain. 

Bagi para expert, romantisme dianggap cara atau metode merayu yang berhasil menawan hati targetnya. Ekspresi rasa cinta yang tulus, mampu membuai. Merayu, hingga coklat pun meleleh. Romantisme puasa, sungguh lebih kepada kemauan kita untuk bermesraan dengan-Nya. Bukan sebaliknya, malah gagal menawan hati targetnya. Bukan seperti “si tukang gombal”. Mengaku mencintai-Nya, tapi di saat yang sama mudah melupakan-Nya.

Romantisme itu gak melulu soal rasa. Tapi juga soal sikap terhadap keadaan. Sikap untuk tetap harmonis, menjaga keseimbangan. Dua titik dalam diri manusia yang bisa saling mengisi dan melengkapi kekurangan. Itu baru romantisme.

Ya, seperti di bulan puasa seperti sekarang. Sebut saja “romantisme puasa”. Pagi hingga sore kita menahan rasa lapar dan haus, sore hari  menikmati indahnya berbuka puasa. Malam hari, khusyuk sholat tarawih dan tadarus. Siang hari kita bekerja, malam hari kita ibadah. Itu baru romantis. Ada keseimbangan dalam diri kita, ada keadaan yang saling melengkapi. 

Romantisme puasa. Momentum untuk “mengkaji diri”, menikmati keadaan hidup yang pernah kita alami. Dari yang buruk hingga yang baik. Dari yang tidak enak hingga yang enak. Karena hidup, sangat butuh keseimbangan. Seimbang dunia dan akhirat, seimbang lahir dan batin. Romantisme, sungguh butuh keseimbangan.


Romantisme puasa.

Kemarin, mungkin kita punya catatan yang mengecewakan dan menyakitkan. Itu pasti dan sebaiknya catatan itu kita masukkan ke “kantong sebelah kiri yang berlubang”. Sebaliknya juga, mungkin kita juga punya catatan yang indah dan menyenangkan. Biarkan catatan itu tersimpan di dalam “kantong sebelah kanan yang tidak berlubang”.

Romantisme puasa, mengingatkan pada kita. Tentang pentingnya menyimpan semua yang baik dan indah dalam hidup kita di "saku yang tidak berlubang". Agar tidak satupun yang baik akan hilang dari hidup kita.

Romantisme puasa, menyuruh kita menaruh semua hal yang buruk dan menyakitkan dalam hidup kita di "saku yang berlubang". Agar catatan itu mudah jatuh dan hilang sehingga kita tak perlu mengingatnya kembali.

Bulan puasa, sungguh bulan yang bisa jadi romantika. Bulan suci untuk merenung diri. Agar kita menjadi lebih baik dari yang kemarin, lebih baik dari masa-masa yang sudah dilewatkan.

Maka sayang, jika di bulan puasa, kita masih punya pikiran dan perilaku yang terbalik-balik. KITA malah justru terlalu mudah ingat segala hal yang buruk dan menyakitkan. Sementara kita terlalu gampang melupakan yang baik dan indah dalam hidup kita.

Romantisme puasa itu hanya ada saat kita membuang jauh-jauh yang jelek dan mengingat sesering mungkin yang baik. Karena romantisme puasa adalah tanda kita “dekat” dengan ketenangan spiritual. Ketenangan di syahrul adzim, syahrul mubarak yang di dalamnya ada kebaikan lebih dari 1.000 bulan. Karena, sebuah jiwa yang tenang itu datangnya dari kehidupan yang tenang. Ciamikk !!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun