Sehabis buka puasa sore ini, Surti bertutur tentang kegundahannya. Seperti ada yang mengusik perasaannya. Bukan pikirannya.
“Kenapa kamu agak termenung Bu?” tanya Tono suaminya.
“Ya Mas, aku hanya bingung dengan orang sekarang. Kepeduliannya semakin menipis. Sementara prasangka semakin tebal. Entah apa yang salah?” tutur Surti prihatin.
“Lho, emangnya kenapa?” tanya Tono lagi.
Surti mulai berkisah. Tentang uneg-unegnya. Tentang perasaannya.
“Beberapa waktu lalu, saat sebelum puasa. Aku melihat sendiri di tempat makan. Ada beberapa wanita karir yang sedang asyik ngobrol satu sama lain. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menyodorkan amplop sumbangan untuk anak yatim. Lalu, Salah satu dari wanita tersebut mengibaskan tangannya. Sambil tidak menoleh. Tanda mereka tidak bersedia memberikan bantuan. Menolak.”
“Sayangnya, setelah laki-laki itu pergi, para wanita karier ini membicarakan tentang maraknya penipuan dengan modus meminta sedekah. Termasuk untuk anak yatim” jelas Surti lagi.
“Lalu, apa yang salah dengan para wanita karier itu, Bu?” Tono penasaran.
“Itulah Mas. Jika kita tidak mau kasih sedekah, tentu tidak masalah. Tapi di saat itu pula, kenapa kita harus berprasangka terhadap laki-laki itu? Gak nagsih tapi ngomongin. Prasangka. Nurani kita telah hilang. Terkikis habis oleh kehidupan zaman. Kita menjadi mudah untuk berprasangka. Tanpa mau membangkitkan kepedulian terhadap sesama” ujar Surti.
“Ya, mungkin zamannya sudah begitu Bu. Atau mungkin mereka punya pengalaman buruk sebelumnya” tukas Tono.
“Karena itu Mas. Inilah waktunya kita merenung. Melihat diri kita dalam keheningan. Dalam kesendirian. Apakah nurani kita sudah terkikis habis oleh prasangka. Atau hati nurani telah mati karena tuntutan zaman. Hidup kita maiin individualis. Sibuk dengan diri sendiri, mengejar target, nguber keinginan kita. Hari ini dan esok, akankah kita tidak punya runag dalam hati kita untuk orang lain. Tak punya empati lagi” Papar Surti
“Lalu, apa yang salah dengan mereka Bu?” sapa Tono lagi.
“Tidak ada yang salah dengan kehidupan, Mas. Yang salah adalah kita membiarkan hati nurani terkikis oleh “kepentingan-kepentingan pribadi”, terkikis oleh prasangka. Kita tidak mampu lagi merasakan kebahagiaan untuk menjadi bagian hidup orang lain. Kita mau bahagia sendiri, kita tertawa sendiri. Sementara orang lain sedih dan kelaparan. Atau sebaliknya, betapa sedinya ketika kita sedang jatuh atau bahkan menangis, tapi tak ada seorang pun yang memeluk atau sekedar menepuk pundak kita sambil berucap “sabar ya, semua pasti akan berlalu.”
“Di bulan puasa ini, penting bagi kita untuk tidak hanya berpikir, tapi juga untuk merasa. Merasakan seperti yang orang lain rasakan.”
Seketika Tono terdiam. Merenungkan kata-kata terakhir Surti. Tidak hanya berpikir, tapi merasakan ...... seperti yang orang lain rasakan.
Waktu Isya pun tiba. Surti berjalan ke belakang. Mengambil wudhu. Bersiap taraweh.... #PuasanyaSurti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H