Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puasanya Surti: Sedekah Atau Belanja Sampai Mati

13 Juli 2014   23:47 Diperbarui: 16 Juni 2016   22:37 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1405244828818810739

Malam ini, puasa belum lagi masuk setengah putaran. Sebagian orang mulai bingung. Mau lanjut terus ibadah. Atau ancang-ancang beli sana beli sini. Nafsu konsumtif mulai merasuk. Segala rencana yang mau dibeli, tercatat sudah. Bulan puasa, di satu sisi bulannya ibadah. Di sisi lain, bulannya belanja. Agak ironis, tapi begitulah adanya....

Seperti yang dialami Surti. Ia mulai bingung. Hari ini, mau masak apa untuk berbuka? Beli saja. Atau masak sendiri. Kalo masak sendiri, agak malas. Kalo mau beli, bebas memilih. Asal ada uangnya. Apalagi di sekitar rumah Surti. Di bulan puasa, memang banyak “pedagang kuliner” musiman. Hanya di bulan puasa, banyak orang rumahan berjualan makanan buka puasa. dari takjil hingga makanan berat. Apalagi jelang waktu buka puasa. Membludak. Seperti pasar kuliner. Bulan puasa, memang bulan penuh berkah. Penuh makanan, asal mampu beli.

“Mas, nanti sore mau buka pake apa? Beli apa masak sendiri?” tanya Surti pada suaminya.

[caption id="attachment_347551" align="aligncenter" width="300" caption="Pribadi - Bukber Yatim"][/caption]

“Terserah Bu. Asal ada saja buat buka puasa. Atau tanya anak-anak kamu, biar mereka senang saat berbuka nanti” jawab Tono polos.

“Ohhh ... Ya Udah. Nanti beli saja ya. Beli kolak, kue lupis. Pastel. Risol. Lauknya ikan tongkol dicabein, ayam goreng. Sama cari sayur daun singkong” ujar Surti.

“Banyak amat yang mau dibeli Bu. Siapa yang mau makan?” tanya Tono.

“Ya, anak-anak. Gak apa-apa lah Mas. Biar mereka senang. Kan lagi puasa” bela Surti.

Mendengar jawaban Surti, Tono terbengong sendiri. Berbuka puasa itu bukan berarti harus banyak makanan. Tapi bergembira karena berhasil menyelesaikan puasa hari ini. 

“Nah, itu yang kita harus hati-hati Bu. Jangan sampai bulan puasa malah menjadikan hidup kita lebih royal dari bulan biasanya. Kalau hanya untuk buka, beli saja yang secukupnya. Tidak usah berlebihan” nasehat Tono pelan.

“Ya gak apa lah Mas. Kan setahun sekali ini” jawab Surti ringan.

“Iya betul Bu. Tidak apa-apa dan silakan. Aku hanya mengingatkan jangan sampai bulan puasa, hidup kita malah jadi lebih konsumtif. Apa aja mau dibeli. Apalagi jelang lebaran nanti. Makanan, kue, pakaian, semuanya pengen dibeli. Justru di bulan penuh berkah, bulan kebaikan, banyak dari kita yang menjadi korban konsumerisme. Kita harus hati-hati. Jangan sampai makna puasa untuk menahan diri jadi hilang. Lalu, apa gunanya kita berpuasa” nasehat Tono lagi.

“Lha tapi kan memang ada uangnya untuk belanja, Mas?” ujar Surti santai.

“Ya Bu. Gak ada yang salah dengan belanja. Asal secukupnya. Aku khawatir saja kalo gara-gara puasa atau lebaran, kita jadi penganut prinsip “belanja sampai mati”. Apa saja mau dibeli. Bahkan barang yang gak perlu juga dibeli. Memang ada uangnya, tapi kan uang itu jauh lebih bermanfaat bila disedekahkan untuk mereka yang membutuhkan” papar Tono lagi.

“Sedekah melulu Mas. Kita juga kan pengen belanja untuk diri kita sendiri” ketus Surti.

“Lho Bu. Menghindari sifat konsumtif bukan berarti melarang belanja. Silakan belanja asal secukupnya. Bukan belanja sampai mati. Belanja untuk yang kita butuhkan, bukan untuk yang kita inginkan. Lagi pula, berkah puasa itu justru terletak pada sedekahnya. Puasanya sendiri itu kewajiban. Urusannya pada Allah SWT. Tapi sedekah itulah yang membuat puasa kita lebih bernilai. Kita harus membentengi puasa dengan sikap ta’awun, sikap tolong- menolong pada sesama. Lebih peduli kepada mereka yang membutuhkan” terang Tono.

“Jadi, harusnya kita harus bersikap bagaimana selama bulan puasa, Mas” balas Surti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun