Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puasanya Surti: Ngaji di Langgar

1 Juli 2014   03:47 Diperbarui: 22 Juni 2016   20:37 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tahukah kamu perbuatan yang paling menyenangkan lagi membuat hati tenang". 

Kalimat itu yang selalu diingat Surti ketika mengikuti Kultum Sholat Tarawih malam ini. Di Mushola dekat rumahnya. Tiba-tiba, hati Surti terketuk. Tentang mengaji. Hal yang mudah diucapkan. Tapi tidak banyak orang yang mau melakukannya.


Setiba di rumah, sepulang tarawih. Surti bertutu kepada Tono, suaminya. 

“Duh Mas, pengen banget ngaji tapi agak malas. Padahal, tdai kultum tarawih mengingatkan kita untuk selalu mengaji” ujar Surti kepada suaminya.

“Lho... kenapa malas mengaji, Bu?” tanya balik Tono

“Gak tau Mas. Entah karena mengantuk. Atau karena lelah badan. Maklum di bulan puasa” jawab Surti polos.

“Ya sudah Bu, gak apa malam ini nggak usah ngaji dulu. Asal jangan kelamaan malasnya. Sayang kan ini di bulan Puasa. Kalo kita banyak ngaji, maka banyak pahala. Hanya di bulan ini kita bisa memperbanyak amalan. Termasuk dengan mengaji” sahut Tono.

 

Ahhh sudahlah. Itu cuma obrolan sekilas antara Surti dan suaminya. Sepulang tarawih. Tidak ada yang menarik. Tentang seorang istri yang sedang malam mengaji. Sungguh, kondisi yang lazim terjadi. Pada siapapun. Malas mengaji, sering kali terjadi.

Namun tidak dengan Tono. Apa yang dinyatakan istrinya tentang malas mengaji, merasuk ke dalam pikirannya. Mengapa istrinya malas mengaji? Apakah hal yang sama terjadi juga pada kebanyakan orang? Apalagi di bulan puasa, bulan yang penuh berkah ini. Sudah sebegitu jauhkan ego manusia, berani bilang "malas mengaji". 

Pikiran Tono makin terusik. Mengapa bisa malas mengaji? Tono berusaha untuk menelaah. Dalam pikirannya, didorong hati kecilnya. 

Mengaji. Ngaji. Atau Pengajian. Apalah namanya. Mengapa mengaji? pikir Tono yang mulai ingin tahu. Apa untungnya mengaji? Mengapa pula harus mengaji? 

Tono berusaha keras mengerahkan pikirannya. Tentang mengaji. Perbuatan yang menyenangkan lagi membuat hati tenang. Pikiran Tono berkecamuk. Ada rasa ingin tahu yang mendalam. Sekali lagi, tentang mengaji.

Batin Tono pun bergumam. Mencari tahu tentang mengaji. Ia memanggil pikiran-pikiran masa lalunya. 

Mengaji? Ngaji. Iya dulu aku mengenal kata “ngaji” sewaktu kecil. Ngaji sama artinya membaca Al Qur’an. Tempatnya  bisa di rumah. Atau yang paling sering di musholla. Atau di langgar dekat rumah. Belajar membaca Al-Qur'an, itulah mengaji. Dari soal makharijul huruf sampai dengan tartil dan tilawah. Begitu pikir Tono sederhana.

 

Tapi kini, pikir Tono lagi. 

Ada juga “ngaji” di forum-forum agama di masjid. Komunitas yang rajin melakukan "pengajian". Rutin dan dalam jumlah yang banyak jamaahnya. Mungkin sekarang, “mengaji” tidak lagi sebatas “belajar baca Al Qur’an”. Tapi “ngaji” sama dengan "mengikuti ceramah agama". Biasanya disampaikan oleh Ustadz atau Kyai. Katakanlah ulama. “Ngaji” sekarang lebih umum. Tempatnya pun tidak hanya di masjid atau musholla. Bisa di kantor, bisa di arisan. Bahkan sekarang lebih banyak orang mengaji di stasiun TV.

 

Menariknya, pikir Tono lagi, di kalangan masyarakat modern sekarang. Khususnya kaum intelektual atau terpelajar, “ngaji” punya makna yang lebih tajam. “Ngaji” lebih diartikan sebagai forum pengkaderan. Komunitas yang berbasis agama, bahkan partai politik pun menggunakan “pengajian” untuk memperkuat jaringan. “Ngaji” lebih berfungsi untuk memisahkan insider dan outsider kader. Agak berat sih “ngaji” begini, pikir Tono. Ngaji atas kepentingan, atas mazhab tertentu. Sungguh berat, gumam hati Tono lagi.

Tiba-tiba Surti menghampiri suaminya. Ingin tahu, apa yang dipikirkan suaminya. Tono pun tersentak. Kaget.

“Mas, sedang mikir apa sih ? Kok serius banget?” tanya Surti santai.

“Nggak Bu, cuma kepikir aja yang kamu barusan bilang. Tentang mengaji atau ngaji. Sebenarnya “ngaji” itu apa? Dan untuk apa kita mengaji?” jawab Tono dengan penuh penasaran.

“Maksud Mas apa?” tanya Surti lagi polos.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun