Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Puasanya Surti: Alhamdulillah, Tak Sekedar Ucapan

18 Juli 2014   04:43 Diperbarui: 12 Juli 2015   23:07 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14056081771952802454

Tak ada yang istimewa di hari ke-19 bulan puasa. Surti menghabiskan malam dengan sang suami. Seusai sholat tarawih. Ngobrol sambil santai.

“Mas, boleh nanya gak?” tanya Surti kepada suaminya.

“Ya, tentang apa Bu” jawab Tono singkat.

 

“Emang, setiap kali kita meraih sukses atau yang kita inginkan perlu berucap alhamdulillah” tanya Surti.

“Ya tentu Bu. Bahkan seharusnya, kita perlu berucap alhamdulillah di setiap saat. Di saat sukses atau gagal sekalipun. Di saat suka atau duka, saat puas atau kecewa, saat sehat atau sakit. Bahkan di saat sedang “menanjak” atau “menurun” dalam menjalani kehidupan” ujar Tono.

 

“Lho, kok di setiap saat. Kan alhamdulillah ungkapan syukur kita?” tanya Surti lagi.

“Ya, Alhamdulillahirabbilalamin itu bermakna segala puji bagi Allah SWT. Sebagai bentuk pengakuan kita terhadap segala nikmat hanya milik Allah SWT. Jadi, tidak hanya ungkapan “syukur” semata. Karena nikmat Allah SWT itu tidak melulu tentang keberhasilan, kesuksesan, kesenangan atau rezeki. Nikmat adalah segala apa yang kita miliki, segala yang kita alami, segala yang sudah terjadi dan yang akan terjadi. Nikmat juga berupa masalah-masalah yang dibebankan kepada kita. Dan itu semua datang dari dan milik Allah SWT, yang dititipkan kepada kita. Bisa jadi cobaan, bisa jadi ujian” kata Tonno dengan bijak.

“Tapi mengapa banyak orang berucap alhamdulillah di saat senang atau berhasil saja?” ujar Surti lagi.

“Ketahuilah Bu. Hidup itu terkadang sukses, kadang gagal. Mimpi itu bisa tercapai bisa tidak. Kalau kita mengucap Alhamdulillah hanya di saat berhasil atau sukses, memang tidak salah. Tapi tidak sepenuhnya tepat. Alhamdulillah pantas kita ucapkan dalam kondisi dan di saat apapun. Sekali lagi, sebagai bentuk pengakuan dan kelapangan hati kita pada-Nya” jelas Tono.

“Mengapa begitu? Tanyanya

“Karena ucapan alhamdulillah adalah ungkapan syukur yang di dalamnya ada 2 komitmen; 1) berterima kasih dan 2) memuji. Kita sering berterima kasih, tapi tidak diikuti dengan memuji. Sebaliknya kita sering memuji orang lain, tanpa mau berterima kasih. Kita sering berterima kasih kepada orang tua, tapi sedikit sekali memuji mereka. Kita lebih senang memuji rumah bagus, tanpa mau berterima kasih pada rumah kita. Nah, Alhamdulillah adalah bentuk ungkapan terima kasih dan pujian kepada Allah SWT. Ada totalitas “penghambaan” kita kepada Allah“ tambah Tono lagi.

“Jadi, ucapan alhamdulillah harusnya dilakukan pada saat kapanpun?” Surti masih penasaran.

“Ya, alhamdulillah seharusnya bukan sekedar ucapan. Tapi juga sikap kita. Sikap hamba kepada Allah SWT atas nikmat hari ini dan esok. Sikap yang istiqomah dalam menjalankannnya. Karena segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan kuasa Allah semata” ujar Tono.

“Kita semua tidak ingin gagal. Tidak ingin sakit. Tidak ingin kecewa. Pasti kita tidak ingin segalanya yang buruk atau negatif. Tapi Allah SWT tidak demikian? Karena Allah SWT punya rencana yang lebih baik dari apa yang kita perkirakan. Itulah sikap moral yang harus kita miliki” lanjutnya.

“Kalo kita sakit juga berucap alhamdulillah? Gimana sih?” sergah Surti.

“Ya karena Allah punya penglihatan yang sempurna. Bisa saja sakit atau gagal adalah washilah (sarana) kita untuk lebih dekat kepada-Nya, lebih ikhtiar dan lebih tawakal. Seperti seorang ibu yang tega memberi obat pahit kepada anak yang sakit? Sekalipun anaknya tidak suka dan protes, si ibu tetap memaksa. Karena pahitnya obat untuk kesembuhan dan kesehatan anaknya” papar Tono memberi contoh

“Lalu, bagaimana cara kita jadikan alhamdulillah sebagai sikap?” seloroh Surti.

“Alhamdulillah sebagai sikap harus tercermin melalui 3 cara: 1) HATI, dengan menyadari dan meyakini bahwa segala nikmat berasal dari Allah SWT, 2) LISAN, dengan memuji sebanyak-banyaknya Allah SWT, dan 3) PERBUATAN, dengan taat beribadah kepada Allah dan menggunakan setiap nikmat untuk kebaikan, selalu ikhtiar dan tawakal” tegas Tono.

“Oleh karena itu, kita  jangan berucap: “saya bersyukur kepada Allah,” tetapi “segala syukur milik Allah.” Karena, semua makhluk, semua ciptaan-Nya bersyukur kepada Allah SWT. Bukan hanya saya, bukan hanya kita” paparnya lagi.

Surti pun menganggukkan kepala. Ia mendapat wawasan baru tentang alhamdulilah sebagai sikap, bukan hanya ucapan. “Alhamdulillah ya Allah, untuk nikmat-Mu hari ini dan esok, batin Surti dengan khusyuk. #PuasanyaSurti

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun