Gak tau kenapa? Si Kuple itu bangga banget jadi orang Indonesia.
Bukan karena negerinya indah. Atau masyarakatnya majemuk. Tapi karena bangsa ini dibangun, dididik sama “nenek moyang” yang kaya akan “pepatah atawa peribahasa”. Pepatah yang isinya nasihat atau ajaran dari orang tua-tua. Bangsa yang punya banyak pepatah, peribahasa, perumpamaan, ibarat, atawa tamsil. Lebih dari itu, bangsa ini juga punya banyak cerita takhayul, dongeng atawa khayalan.
Pepatah, peribahasa. Takhayul, dongeng. Semuanya baik-baik saja. Karena buat ngingetin, buat nasihat agar bisa mawas diri, agar gak kebablasan. Dalam hal apapun, soal apapun. “Terima kasih ya nenek moyang, udah kasih pelajaran yang penuh hikmah buat bangsa ini” begitu batin Si Kuple.
Zaman sekolah dulu, emang paling susah ngapalin pepatah atawa peribahasa. Karena kata-katanya “meliuk-liuk” terlalu indah sampe gak bisa dimengerti. Tapi kalo udah baca artinya, semua orang yang sekolah pasti mengangguk; tanda setuju. Itulah hebatnya pepatah, kerennnya peribahasa. Emang ciamikk bangsanya Si Kuple.
Ada pepatah begini “belum berkuku hendak mencubit”
Kalo arti harfiah-nya, “belum berkuasa tetapi sudah mencari - cari kesalahan orang”. Tapi kalo diterjemahin bebas, terserah yang punya pikiran aja. Terserah otak masing-masing. Boleh jugsa sih diartikan, “belum apa-apa saja sudah pengen melukai”. Apalagi kalo sudah jadi apa-apa ya?
Cuma sayang aja. Sekarang banyak orang udah gak mau baca pepatah, gak mau menyimak peribahasa. Katanya zaman udah maju, katanya udah era digital. Pantas, banyak orang yang pikirannya pada lumpuh.
Pikiran lumpuh.
Pikiran yang mendambakan hidup tenang dan harmoni. Tapi dilakoni dengan cara menebar kebencian, saling mengumbar aib, menghakimi satu sama lain, menghujat lalu memvonis orang lain.
Pikiran lumpuh yang pengen hidupnya lebih baik di masa depan. Tapi tidak mampu melepaskan diri dari pikiran keliru. Tekun dan rajin dalam memperjuangkan pikiran yang gak sepenuhnya benar.
Sungguh, pikiran lumpuh emang jadi “tempat yang paling nyaman” untuk berbaringnya ketakutan, keraguan, kesalahan, kebencian hingga kepercayaan yang mendekati takhayul. Mereka “tidur bareng” di satu pembaringan …. Pikiran lumpuh.