Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peran Aspek Gramatika Bahasa Indonesia dalam Membentuk Masyarakat Bahasa

21 Desember 2012   10:32 Diperbarui: 22 Oktober 2016   07:31 2793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Delapan puluh delapan tahun sudah eksistensi Bahasa Indonesia di negerinya sendiri. Fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pun tidak dapat diganggu gugat. Harga mati dan tak terbantahkan. Hampir di seluruh belahan bumi nusantara mengakui keberadaan bahasa Indonsia sebagai alat komunikasi antarbudaya dan antardaerah. Bahkan bahasa Indonesia diakui sebagai lambang identitas nasional. Namun di saat yang bersamaan, perkembangan dan penggunaan bahasa Indonesia dalam tataran praktis saat ini tidak pula terlalu menggembirakan. 


Masih banyak pemakai bahasa Indonesia yang belum patuh terhadap kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Berbahasa Indonesia masih banyak yang salah kaprah. Bahkan sikap pemakai bahasa Indonesia pun terbilang menyepelekan, sikap yang tidak positif. Apalagi di tengah era globalisasi dan teknologi seperti sekarang, keberadaan bahasa Indonesia bisa jadi semakin “terpinggirkan”. Masihkan Bahasa Indonesia menjadi "tuan rumah" di negeri sendiri? 

Terabaikannya kaidah tata bahasa dan aspek ejaan dalam penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari menjadi fenomena yang sangat biasa. Gaya bahasa tutur yang informal seringkali “bertukar tempat” dengan gaya bahasa tulisan yang bersifat formal. Kata-kata bikin, ngamuk, nunggak, nyoblos, lewat, omongan, banter, ngompreng, ilang sering digunakan dalam tulisan resmi. Dalam berbahasa Indonesia, setiap pemakai bahasa merasa bebas untuk menggunakan kata atau istilah apa saja asalkan pembaca atau pendengar memahami maksud dan makna tuturan. Belum lagi,penggunaan istilah atau kata asing yang semakin merajalela. Diksi atau pilihan kata yang tidak tepat pun sering dihadirkan sebagai ungkapan individual untuk memenuhi nilai artistik bahasa semata-mata.


Penggunaan bahasa Indonesia hari ini adalah realitas pemakaian bahasa Indonesia yang berkembang saat ini. Kualitas pemakai bahasa Indonesia hari ini adalah potret pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia sekarang. Fenomena ini telah diungkapkan oleh Abdul Chaer dalam buku Gramatika Bahasa Indonesia (1993) yang menegaskan masih banyak penggunaan bahasa Indonesia yang dapat dipersoalkan. Bahasa Indonesia harus mampu menguak misteri yang menyelimutinya sehingga dapat menjalankan fungsi sebagai bahasa nasional dengan baik. Bahasa Indonesia masih dipadati oleh problematika tata bahasa yang terus-menerus terjadi seiring perkembangan peradaban dan dinamika kehidupan manusia. Lalu, kapan tercapai tatanan masyarakat bahasa yang memiliki kesadaran dan kepatuhan terhadap kaidah berbahasa dengan baik dan benar dapat terwujud? Memang, bahasa Indonesia hari ini masih sebatas bahasa masyarakat, belum menjadi masyarakat bahasa!


Problematika bahasa Indonesia pada tataran praktis makin menguat apabila dikaitkan dengan penggunaan bahasa Indonesia pada dunia jurnalistik, teknologi internet, dan politik. Bahasa Indonesia yang digunakan pada surat kabar, facebook (baca: fesbuk), email (surat elektronik), sms (baca: pesan singkat), WA (what's app) menjadi realitas yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Tantangan aspek gramatika atau tata bahasa dalam bahasa Indonesia berkembang semakin besar seiring rendahnya kesadaran masyarakat dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kondisi ini yang kemudian membuka ruang perseteruan dan perdebatan bahasa Indonesia hendak dibawa pada tataran praktis substansi atau praktis gramatikal. Praktis subtansi berorientasi pada pemakaian bahasa Indonsia yang bertumpu pada sampai tidaknya tujuan komunikasi antara komunikator dan komunikan, penulis dan pembaca tanpa menghiraukan kepatuhan terhadap kaidah tata bahasa. Praktis gramatikal berorientasi pada pemakaian bahasa Indonesia yang bertumpu pada penyampaian tujuan komunikasi yang sesuai dengan kaidah tata bahasa.


Apa yang terjadi dengan perkembangan bahasa Indonesia? 

Kita sepakat bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan bahasa nasional bangsa Indonesia tidak perlu dipersoalkan lagi. Tapi kita sebagai pemakai bahasa Indonesia dengan realitas variasi dan gaya yang sangat beragam patut mendapat perhatian. Hal ini menyangkut aspek pemertahanan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak boleh kehilangan identitasnya karena serbuan variasi bahasa asing atau pergaulan yang tidak memiliki standar kebakuan. Kemantapan posisi bahasa Indonesia di tengah para pemakainya harus bersifat fundamental. Bahwa kemudian, pemakai bahasa Indonesia tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar tentu menjadi tantangan kita bersama.


Konsekuensi dari realitas berbahasa saat ini, hampir tidak ada pemerhati atau pengamat bahasa yang puas melihat perkembangan berbahasa Indonesia yang terjadi di masyarakat. Praktik berbahasa Indonesia saat ini dinilai semakin tidak taat azas dan menjauh dari kaidah yang seharusnya, bahkan cenderung merusak eksistensi bahasa Indonesia. Kita ingat pada 20 Mei 1995, pemerintah secara serius melihat ada masalah dalam penggunaan bahasa Indonesia secara praktis di masyarakat hingga perlu mencanangkan Gerakan Nasional Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar. Hal itu terjadi 16 tahun lalu, akankah keseriusan terhadap masalah yang sama akan terulang kembali di era seperti sekarang? Tak enaknya, kondisi ini terjadi di tengah rendahnya kepedulian masyarakat terhadap eksistensi bahasa Indonesia dan lambatnya regenerasi ahli-ahli penyuluhan bahasa Indonesia.


Kondisi perusakan dan lemahnya kemampuan bahasa yang berbasis pada kaidah tata bahasa (gramatika) bahasa Indonesia bisa jadi dipengaruhi oleh kebiasaan berbahasa yang melekat pada diri pemakai bahasa Indonesia sendiri. Kebiasaan berbahasa mengacu pada tradisi berbahasa yang sering dilakukan seseorang. Tingkat keseringan dalam menggunakan bahasa dalam segala bentuk baik lisan maupun tulisan menjadi faktor dominan dalam kebiasaan berbahasa. Beberapa faktor yang menyebabkan terbentuknya kebiasaan berbahasa, antara lain:

1. Keluasan kontak, semakin luas pemakaian bahasa tertentu maka semakin sering seseorang menggunakan bahasanya, seperti kontak bahasa dengan keluarga, teman sepergaulan, rekan kerja, dan sebagainya.

2. Waktu, semakin lama seseorang belajar dan menggunakan bahasa tertentu maka semakin fasih menggunakan bahasa tersebut.

3. Populasi, semakin besar jumlah populasi yang ada dalam kontak bahasa maka semakin cepat kebiasaan berbahasa terbentuk.

4. Penggunaan, semakin sering penggunaan bahasa dalam setiap kontak bahasa maka akan semakin terbiasa menggunakan bahasanya.

5. Keterampilan, semakin rendah keterampilan berbahasa yang dimiliki seseorang maka akan semakin rendah pula kebiasaan berbahasanya.

6. Sikap, seseorang yang memiliki sikap terbuka akan lebih cepat terpengaruh kebiasaan berbahasanya oleh lingkungan sekitar.

7. Tekanan, situasi yang mendesak untuk belajar bahasa dikarenakan lingkungannya. 


Jika ditilik secara saksama, kebiasaan berbahasa ynag cenderung tidak taat azas dan menjauh dari kaidah pada dasarnya menunjukkan sikap berbahasa seseorang. Realitas perusakan bahasa Indonesia pada tataran praktis yang berkembang saat ini menjadi isyarat adanya masalah sikap mental para pemakai bahasa, di samping pola pikirnya tentang bahasa Indonesia itu sendiri. Kalau saja kita masih percaya bahwa ”bahasa menunjukkan bangsa” maka wacana tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di kalangan pemakai bahasa Indonesia menjadi penting untuk selalu ditegakkan.


Aspek Gramatika

Dari mana kemudian kita memulai pembenahan penggunaan bahasa Indonesia? 

Tidak berlebihan apabila tulisan ini mengajak pemakai bahasa Indonesia untuk memfokuskan pembenahan pada aspek gramatika atau kaidah tata bahasa. Kedudukan aspek gramatika bahasa harus dipandang sebagai substansi dari upaya pembenahan penggunaan bahasa Indoensia bagi para pemakainya. Titik perhatian bahasa Indonesia di kalangan pemakainya dapat difokuskan pada aspek gramatika, yang mencakup kaidah ketatabahasaan baik secara morfologis (pembentukan kata) maupun sintaksis (tata kalimat). Melalui aspek gramatika bahasa diharapkan dapat membentuk kebiasaan berbahasa yang lebih baik dan benar, di samping mampu meningkatkan keterampilan berbahasa secara cermat.


Fokus pada aspek gramatika bahasa ini setidaknya mampu menjadikan pemakai bahasa memiliki kesadaran terhadap patokan-patokan aktivitas berbahasa yang sesuai dengan kaidah yang berlaku, yang disepakati. Ketiadaaan pemahaman akan aspek gramatika diyakini akan menjadikan bahasa Indonesia semakin kehilangan eksistensinya sebagai bahasa dan identitas nasional. Bukankah semua bahasa yang ada harus tetap menjunjung tinggi patokan-patokan yang telah ditetapkan? Oleh karena itu, bahasa Indonesia sebagai bahasa pun memiliki patokan-patokan sebagaimana diatur dalam kaidah ketatabahasaannya.


Ada baiknya aspek gramatika atau kaidah tata bahasa menjadi landasan dalam penegakan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar.Dalam konteks ini, aspek gramatka tidak mempersoalkan panjang pendek suatu tulisan sebagai alat mengekspresikan perasaan dan pikiran pemakai bahasa. Aspek gramatika pada dasarnya lebih menekankan pada pengungkapan perasaan dan pikiran dalam bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah-kaidah gramatika bahasa Indonesia. Berbahasa tidak hanya sekadar dapat dipahami, apalagi membuat kesan menciptakan kaidah gramatika sendiri.


Oleh karena itu, pemakai bahasa Indonesia harus melakukan reposisi atau penguatan terhadap aspek gramatika sebagai patokan umum yang paling lazim digunakan dalam suatu bahasa.BahasaIndonesia dengan beragam variasi dan register pemakaian ahrus tetap bertumpu pada aturan yang baku, yang mengikuti kaidah tata bahasa dan bukan bahasa yang seenaknya. Aspek gramatika membutuhkan kesadaran bersama dan sikap yang konsisten dalam diri pemakai bahasa. Pemantapan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar harus dimulai dari komitmen terhadap penegakan aspek gramatika bahasa Indonesia itu sendiri.


Aspek gramatika ini difokuskan pada pemahaman yang optimal tentang dimensi morfologi, yang menyangkut unsur kata dan bentuk kata dan dimensi sintaksis, yang menyangkut unsur tata kalimat. Aspek gramatika menekankan pada pemakaian unsur kata dan kalimat yang dipilih harus mengikuti kaidah tata bahasa Indonesia yang baku, yang dapat memperkuat pengaruh dan wibawa bahasa Indonesia di tengah kelompok pemakainya. Pengabaian terhadap aspek gramatika berbahasa pada dasarnya akan berimplikasi terhadap rapuhnya struktur kebahasaan bahasa Indonesia. Lagi-lagi, aspek gramatika tidak mempersoalkan substansi pemakaian bahasa dari segi makna, tetapi mengacu pada keajegan tata bahasa di kalangan pemakainya. Eksistensi bahasa Indonesia harus dimulai dari kesadaran akan kepatuhan terhadap aspek gramatika berbahasa.


Dalam satu studi penelitian yang dilakukan penulis, pengabaian aspek gramatika bahasa Indonesia telah terjadi di berbagai teks, misalnya pada teks lirik lagu maupun judul berita media cetak. Sebut saja pada teks lirik lagu album ”Langkah Baru” Grup Band Radja didapati empat kesalahan utama pada tatatan morfologi yaitu 1) penggunaan idiom, 2) penyingkatan morfem, 3) pemakaian kata yang tidak baku, dan 4) pelesapan morfem terikat. Pada tataran sintaksis, album ’Langkah Baru” memiliki kesalahan yang terdiri dari 1) pelesapan fungsi kalimat, 2) hubungan sintagmatik, 3) pengabaian konjungsi, 4) ambiguitas, dan 5) dominasi frase/klausa.


Kesalahan aspek gramatika juga terjadi pada penulisan judul berita beberapa media cetak, seperti Harian Poskota (Oktober 2007) yang didominasi oleh 1) penggunaan kata yang tidak baku, 2) penggunaan bahasa pasar, 3) kata bermakna konotatif, dan 4) penggunaan kata asing. Pada Harian NonStop (2008) terjadi kesalahan pada tataran: 1) penggunaan kata tidak baku, 2) istilah yang tidak lazim, 3) ambiguitas, 4) pelesapan fungsi kalimat, 5) penggunaan konjungsi, dan 6( kata yang bermakna konotatif. Pada Harian Lampu Merah (2007), kesalahan aspek gramatika terdiri dari 1) kata yang tidak baku, 2) kata yang konotatif, dan 3) ambiguitas. 


Mengacu pada kenyataan berbahasa seperti di atas, maka aspek gramatika bahasa patut mendapat prioritas. Intinya, upaya pembenahan bahasa Indonesia dapat dilakukan pada kampanye penegakan aspek gramatika bahasa Indoensia secara konsisten dan berdaya guna. Penggunaan bahasa Indonesia tidak hanya sekadar pemenuhan aspek makna atau tingkat formalitas penggunaan semata-mata, tetapi juga penegakan terhadap kaidah tata bahasa Indonesia. 


Memang, setiap pemakai bahasa memeiliki gaya dan variasi sendiri dalam berabahasa, tetapi bukan berarti dapat melanggar dan merusak aspek gramatika dengan seenaknya. Kini, perhatian terhadap aspek gramatika bahasa Indonesia dapat menjadi momentum untuk menghentikan segala bentuk penyimpangan berbahasa yang dapat mengancam eksistensi bahasa Indonesi itu sendiri. Dan kini pula, saat yang tepat bahasa Indonesia memasuki tahapan baru dalam membentuk masyarakat bahasa, masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang memahami dan mau menerapkan kaidah tata bahasanya sendiri.


Masyarakat Bahasa

Bahasa Indoensia sebagai bahasa masyarakat tidak terbantahkan lagi. Tapi bahasa Indoensia belum mampu menjadikan pemakainya sebagai masyarakat bahasa. Terminologi ini disajikan untuk meratifikasi pemahaman tentang masyarakat bahasa yang hanya bertumpu pada ”masyarakat yang merasa menggunakan bahasa yang sama”. Sejatinya, masyarakat bahasa adalah kelompok masyarakat yang memiliki sikap dan kesadaran moral yang sama dalam menjunjung tinggi kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Salah satunya, masyarakat bahasa dapat terbentuk melalui penegakan aspek gramatika bahasa Indonesia yang berkelanjutan.


Masyarakat bahasa seharusnya mengacu pada kemampuan komunikatif berbahasa (communicative competence) para pemakai bahasa Indonesia yang didukung oleh pemahaman bahasa sebagai suatu sistem dan terampil dalam bertutur bahasa Indonesia. Masyarakat bahasa Indonesia berlandaskan pada kemampuan berbahasa yang dimiliki pemakainya secara terampil sesuai dengan. Fungsi dan situasi serta norma pemakaian dalam konteks sosial berbahasa. Seharusnya, masyarakat bahasa tidak lagi mempersoalkan pemakainya berdasarkan kategori monolingual, bilingual, atau multilingual.


Pemahaman masyarakat bahasa yang semacam itu mungkin saja bersifat kontroversial tetapi penting diajukan untuk memperkuat posisi tawar bahasa Indonesia sebagai identitas nasional. Dalam masyarakat bahasa, sikap dan kesadaran berbahasa Indonesia harus selalu menjunjung tinggi kaidah tata bahasa yang berlaku. Segala bentuk penyimpangan dan kesalahan berbahasa berada pada wilayah kesadaran yang utuh, yang dapat dimengeri ”sedang berbuat salah” dalam berbahasa. Karena sesungguhnya,bentuk penyimpangan dan kesalahan berbahasa yang terjadi saat ini lebih dikarenakan tidak adanya kesadaran dalam berbuat kesalahan berbahasa.


Lalu apa untungnya jika kita mengkampanyekan masyarakat bahasa? 

Setidaknya, ada semangat kebersamaan pemakai bahasa Indonesia untuk menegakkan aturan dan kaiadah tata bahasa Indonesia. Dalam konteks pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, semangat untuk menjadikan pemakai bahasa Indonesia sebagai masyarakat bahasa yang dapat menjadi ”ruh” dalam menginspirasi setiap pemakai bahasa agar selalu konsisten dalam menjunjung tinggi kaidah bahasa Indonesia. Masyarakat bahasa dapat menjadi gagasan penting untuk memantapkan posisi penting bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan identitas bangsa Indonesia di tengah carut-marut penerapan bahasa Indonesia yang baik dan benar.


Masyarakat bahasa tidak lagi bertumpu pada adanya penggunaan bahasa yang sama pada kelompok mayarakat, tetapi lebih fokus pada adanya komitmen dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar secara konsisten. Masyarakat bahasa tidak lagi mengacu pada dimensi perkembangan bahasa atas dasar sejarah, budaya, maupun politik melainkan pada realitas penggunaan bahasa yang baku di kalangan pemakainya. Masyarakat bahasa tidak lagi berdasar pada adanya daya dukung homogenitas pemakaian bahasa yang sama atau nilai universalitas bahasa gingga terbentuknya jalinan komunikasi. Masyarakat bahasa harus diarahkan pada konsep ideal untuk menegakkan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi yang taat azas dan kaidah berbahasa sesuai dengan aspek gramatika yang berlaku.


Di tengah gempuran penggunaan bahasa asing yang makin marak dan lemahnya sikap pemakai bahasa Indonesia seperti sekarang, semangat membentuk masyarakat bahasa harus tercermin melalui perilaku berbahasa yang sesuai dengan standar kebakuan dan kaidah bahasa Indoenesia yang konsisten. Masyarakat bahasa tidak ingin menuding bahasa Indonesiia sebagai bahasa yang tidak dinamis, yang ”miskin” kata, yang strukturnya terlalu kompleks, yang penting dapat mengerti di tengah ketidaktahuan pemakainya terhadap kaidah yang berlaku. Masyarakat bahasa dapat terbentuk karena adanya kepedulian dan sikap pemakai bahasa Indonesia yang cenderung terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.


Masyarakat bahasa merupakan dambaan penggunaan bahasa Indonesia ke depan dari para pemakainya. Bentuk konkretnya, masyarakat bahasa selalu berusaha mencerminkan penggunaan bahasa Indoensia yang memenuhi syarat-syarat seperti: a) memegang prinsip ketepatan gramatika bahasa, b) memiliki kecermatan dalam membentuk dan memilih kata, c) memperhatikan ketepatan struktur kalimat, d) menghindari unsur bahasa yang tidak lazim dan mubazir, e) menjunjung tinggi ketepatan makna, dan f) menerapkan kaidah bahasa dan ejaan.

Adanya kesadaran untuk memantapkan posisi bahasa Indonesia sebagai jati diri dan identitas bangsa menjadi ”harga mutlak” yang diusung masyarakat bahasa. Dengan demikian, wacana dan pemikiran bahasa Indonesia tidak lagi terbatas pada ”menghadirkan” bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa, tetapi lebih kepada upaya ”menghidupkan” bahasa Indonesia sebagai sikap moral pemakai bahasa Indonesia yang bangga dan konsisten dalam menjunjung tinggi sistem dan struktur bahasa Indonesia sebagai salah satu genre bahasa di dunia. Salah satunya, mengembalikan peran aspek gramatika sebagai opsi pembentukan masyarakat bahasa. Viva bahasa Indonesia !

(Syarifudin Yunus, M.Pd.,Pengajar Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Indraprasta PGRI Jakarta)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun