Kenalkan namaku Kartono. Suami dari Surti dan ayah dari 3 orang anak yang menyenangkan hati. Banyak orang bilang namaku jelek. Tak apa, karena aku tak peduli. Buatku, apalah arti sebuah nama?
Satu yang pasti, hingga saat ini, aku tidak pernah tahu arti namaku sendiri. Bahkan aku juga tidak tahu hubungan namaku dengan diriku sendiri. Akupun sama sekali, tak ada hubungan dengan Kartini yang dianggap “pahlawan emansipasi wanita” di negeri sebelah.
[caption caption="Sumber: Pribadi - KARTONO; lelaki yang mengusung senja"][/caption]
Pernah suatu kali, seseorang bertanya, “Kenapa sih kamu diberi nama Kartono?”
Aku jawab sederhana, nama Kartono diberikan orang tuaku tentu dengan penuh harapan. Harapan menjadi lelaki yang baik. Lelaki sederhana yang tak mau tergerus oleh gemerlap kota. Tak mau terbelenggu dalam gaya hidup semu orang-orang kota. Karena bagiku, kota megapolitan hanya berisikan kemunafikan.
Panggil aku Kartono. Aku hanya seorang lelaki yang mengusung senja.
Karena aku percaya, nama Kartono yang disematkan pada diriku adalah bukti syukur orang tuaku yang tidak pernah berhenti atas anugerah yang Maha Kuasa. Seperti senja yang tak pernah berduka walau menunggu waktu untuk tenggelam. Aku tak pernah memamerkan namaku. Biarkan orang-orang saja yang memanggilya. Tapi jauh di sudut hati kecilku, aku sangat bangga memiliki nama Kartono. Nama itu sangat mewakili jati diri aku sebagai lelaki sederhana. Sangat sederhana sekali … seperti hidupku.
Panggil aku Kartono. Aku hanya seorang lelaki yang mengusung senja.
Kata orang namaku jelek. Sebagian orang memanggilku Tono saja. Kata orang, aku sosok lelaki yang sederhana, pekerja keras, bertanggung jawab, pintar. Dan yang terpenting, aku selalu tampil apa adanya. Seperti senja, aku sudah melihat jutaan manusia. Tapi tak satupun dari mereka yang lebih indah daripada ketika aku memeluk senja yang sederhana. Senja yang lebih terbiasa memberi, tak pernah meminta tolong walau ia hendak tenggelam sekalipun.
Panggil aku Kartono. Aku hanya seorang lelaki yang mengusung senja.
Memang namaku terdengar kurang enak. Aku lahir di Jakarta. Keturunan Makassar-Bogor. Sekali lagi, aku hanya lelaki biasa. Walau hidup di tengah gemerlap metropolitan, aku tak ingin hanyut bersamanya. Kota yang penuh kamuflase. Seperti senja yang selalu setia menjalani waktu sore tanpa pernah meragukan kuasa-Nya. Hobbyku menulis, untuk mengingatkan diriku sendiri. Agar aku terbiasa bicara atas apa yang aku alami atau aku tuliskan. Karena aku percaya, setiap masalah itu ada untuk mendewasakan dan menguatkan bukan menjatuhkan. Jika putus asa maka caraku memandang masalah yang salah.