Minggu, 5 April 2015. Ini bukan in memoriam orang besar. Bukan pula politisi. Atau mengenang orang kota yang kaya. Tapi in memoriam orang baik yang ada di kampung. Di Warung Loa Gunung Salak Bogor.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Dini hari tadi pukul 02.00 WIB telah meninggal dunia Bapak Raisin bin Sarki. Saya memanggilnya Pak Icing. Seorang kakek tua yang baik. Orang baik di Gunung Salak Bogor. Beliau meninggal dunia dengan istqomah, tidak merepotkan, dan sepertinya tahu memang akan kembali ke haribaan Allah SWT. Kuning bersih dan tersenyum, begitu raut wajah terakhir sebelum kain kafan ditutup.
Sekali lagi, ini bukan in memoriam orang tenar dan populer. Tapi hanya seorang bapak tua yang baik di kaki Gunung Salak Bogor. Sejak tahun 1989, saya menjadikannya sebagai Bapak Angkat. Dan beliau dengan senang hati memanggil saya sebagai anak. Sosok yang menjadi guru kehidupan bagi saya dalam 3 dekade terakhir. Atau lebih tepatnya selama 26 tahun ini. Dialah yang mengajarkan saya tentang ketulusan dalam hidup, kebersihan hati, dan membantu sesama. Bisa jadi, beliau tidak berpendidikan, konon tidak sekolah. Tapi hebatnya, sejak tahun 1989 saya belajar banyak pada sosok peladang pekerja keras ini untuk menjalani hidup apa adanya dan selalu melihat ke bawah.
Agak terlambat walau tidak terlalu menyesal. Bapak angkat saya, Pak Icing, harus meninggalkan kami. Saya anak angkatnya dan ke-4 anak kandungnya. Agak terlambat karena saya baru diberi tahu isteri pada pukul 5.30 WIB pagi. Lalu via telepon, saya meminta untuk menunggu saya dan keluarga sebelum dikuburkan. Agar saya dan keluarga tidak menyesal. Memang, ikatan batin saya, istri, dan ke-3 anak saya sangat kuat dengan Pak Icing. Padahal, beliau hanya bapak tua yang baik di sebuah kampung di Gunung Salak Bogor.
[caption id="attachment_407929" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: Pribadi - Orang Baik di Gunung Salak"][/caption]
Sekitar pukul 08.00 pagi tadi, saya tiba di rumah Pak Icing yang sangat sederhana. Sungguh, tak lagi dapat terkatakan. Saya hanya dapat menangis, dan kembali menangis setelah melihat sebujur tubuh yang tergolek di lantai rumah dalam keadaan sudah dikafani. Hanya bagian kepala yang masih terbuka. Karena menunggu saya. Ya menunggu anak angkatnya. Terima kasih Ya Allah, karena Engkau masih memberi kesempatan saya dan keluarga untuk melihat wajah mayat yang sebentar lagi dikuburkan. Saya bacakan Al Fatihah ... Walau sambil sesunggukan menangis. Mohon maaf lahir batin Pak, dalam hati saya. Tetesan air mata menjadi saksi pertemuan terakhir kami.
Polos dan sederhana. Begitu gaya Pak Icing semasa hidupnya. Gak neko-neko kata orang sekarang. Iya karena beliau hidup dalam serba kekurangan. Hanya seorang peladang kebun. Himpitan ekonomi yang keterlaluan membuatnya miskin. Bersyukur, anak-anaknya dan saya masih bisa ikut membuatnya tertawa. Sedikit menghibur dan menyenangkan hatinya, memberi secercah harapan. Selagi saya dan keluarga masih bisa berbagi dan meringankan sedikit saja penderitaan beliau.
Pak Icing meninggal dunia di usianya ke-85 tahun. Di pemakaman keluarga dari istrinya. Prosesi penguburan orang baik di Gunung Salak ini berjalan sangat sangat sangat lancar. Mudah dan tidak ada kejanggalan apapun. Bersih dan dimudahkan Allah SWT, seperti ajaran kebersihan hati yang selalu dikatakan kepada saya. Diiringi cuaca yang cerah, tepat pukul 9.30 pemakaman pun selesai. Dalam hati saya, inilah penguburan orang baik yang khusnul khotimah. Insya Allah ....
Sesaat, setelah puluhan pengantar kubur pulang. Saya, istri dan ketiga anak saya terjongkok di samping keranda bambu yang menjadi penutup kuburan Pak Icing. Saya memimpin doa untuk orang baik di Gunung Salak Bogor ini. Tanpa ada yang merekayasa, lantunan doa dan surat Al Fatihah yang kami bacakan ....... akhirnya membangkitkan ikatan emosional saya, istri dan anak-anak saya. Kami semua tersedu, menangis dan terisak. Bahkan anak ke-2 saya, Farid terus menangis hingga mengundang perhatian orang lain. Sungguh, degup dada saya berdetak kencang. Pertanda orang baik di Gunung Salak ini terlalu dicintai anak-anak saya. Lagi, air mata terus menetes membasahi pipi ke-3 anak saya. Deraian air mata jatuh dari pipi istri saya, yang sesekali diseka dengan tangannya. Pak Icing, memang hanya Bapak Angkat saya. Tapi kebaikan dan ketulusannya dalam hidup, sungguh menjadi pelajaran berharga bagi keluarga kami.
In memoriam Pak Icing. Memang beliau bukan orang terkenal. Hanya seorang tua yang sehari-hari bekerja sebagai peladang. Bekerja dari pagi hingga siang di kebun milik saya. Di depan rumah saya, yang juga dibangun olehnya. Di Warung Loa Gunung Salak Bogor. Tanpa pamrih. Hanya sebulan sekali kami bertemu. Kadang di kebun, kadang di teras rumah. Atau kadang di pengajian bulanan anak-anak yatim binaan saya di Gunung Salak Bogor. Tak besar, tapi setiap bulan saya menyisihkan sebagian rezeki untuknya, yang memang ditunggu oleh beliau. Entah, untuk beli beras, beli lauk. Atau mungkin sebungkus rokok.
Mengapa Alm. Pak Icing begitu istimewa bagi keluarga saya?
Tidak hanya istimewa. Dia adalah guru kehidupan keluarga saya. Sosok yang mengajarkan kebaikan dalam hidup. Miskin, tidak sejahtera, tak punya pekerjaan, mungkin jika ngomong tidak terlalu berarti. Tapi dia tidak pernah mengeluh tentang negara-nya. Tidak pernah mengeluh tentang pemimpin bangsa. Tak pernah mau tahu tentang korupsi, politik. Dan sebagainya yang sering dibicarakan orang. Beliau sama sekali tidak tertarik. Dia hanya fokus bekerja untuk mencari sesuap nasi setiap harinya. Di daerah yang sullit dan sebagian besar masyarakatnya tergolong miskin. Pak Icing, sosok yang mengajarkan ketulusan dan kebersihan hati. Lugu, sederhana, apa adanya dan sedikit pendiam. Mungkin karena telinganya sudah kurang bisa mendengar lagi. Karena usianya yang sudah tua.
Alm. Pak Icing. Sosok yang sangat penting dalam perjalanan hidup saya dan keluarga. Tahun 1989, kali pertama saya bertemu dengannya. Saat saya masih mahasiswa miskin. Beliau, orang baik yang mempersilakan saya menginap di rumahnya ketika “kemalaman” bermain di Gunung Salak. Saat itu dengan beberapa teman saya. Lalu hubungan kami berlanjut, hingga saya menjadikannya sebagai Bapak Angkat. Beliaupun dengan senang hati menganggap saya anak angkatnya.
Pak Icing sosok penting bagi saya. Karena di rumah beliau pula, tahun 1995. Saya bertemu dengan gadis cantik, Preli Oktosari di rumahnya, saat dijadikan tempat untuk memberi santunan bagi 22 anak yatim dan tidak mampu. Kegiatan sosial teman sekantor di SetNeg RI, namanya Caraka Muda Yajfa (Perjalanan Anak Muda peduli Yatim Janda Fakir). Dari kegiatan ini, rasa cinta saya kepada gadis Preli mulai bersemi. Hingga menikah. Sejarah dan kenangan yang tak akan terlupakan ....
Lagi-lagi, Pak Icing menjadi sosok penting bagi kami. Karena ia juga yang ikut andil mengajarkan saya untuk bergaul dengan “orang-orang kecil”. Orang miskin dan orang-orang tidak penting. Sekalipun miskin, ia mengangkat anak, Iqbal namanya. Sudah miskin masih mau merawat anak orang lain, saya tak habis pikir dulu. Ia juga merawat ke-4 anaknya dalam kemiskinan dengan sabar. Apa adanya. Bahkan ia juga yang mengenalkan Dedeh, anak yatim yang akhirnya ikut tinggal bersama saya dan keluarga di rumah Jakarta. Hingga lulus SMK dan kini si anak yatim itu sudah berkeluarga.
Pak Icing, orang kampung yang baik hati. Jasanya sangat besar bagi keluarga saya. Kebaikannya sungguh luar biasa, tidak ada tandingannya. Itu yang saya rasakan selama ini. Baik yang tanpa pamrih dan apa adanya. Dia memang bodoh, tapi saya belajar betul darinya tentang hidup yang “tidak perlu menengok ke atas”, tapi “melihat ke bawah”. Sampai sekarang prinsip hidup ini yang saya jalani dan saya ajarkan kepada anak-anak saya. Alhamdulillah ....
Kebaikan Pak Icing tak terbilang bagi kami. Mulai dari mencarikan tanah yang akhirnya kini menjadi rumah saya dan keluarga di Gunung Salak Bogor. Ia pula yang membangunnya. Bahkan saat renovasi rumah saya di Jakarta pun, ia ikut membangun, membacakan doa selamat, hingga mengerjakan perabot yang dibutuhkan istri saya. Bahkan hingga akhir hayatnya, ia adalah peladang tangguh di usia senja yang masih berkebun, menanam singkong, tales, cabai dan lain-lain di kebun saya di depan rumah. Ia yang selalu merawat pohon Nangka, Pisang, Jambu, Sawo di kebun saya. Setiap kali panen, ia pula yang menyiapkan “jatah” untuk saya dan keluarga.
Kini, sepeninggal Pak Icing. Saya dan keluarga belum tahu apa yang akan terjadi ke depan. Setelah beliau tidak ada. Yang pasti kami akan kerepotan. Kebun tidak ada agi yang merawat. Tidak ada lagi yang memanen nangka, tales, atau singkong di saat kami ingin memakannya. Tidak ada lagi canda di malam hari di antara kami. Bahkan, tidak ada lagi guru kehidupan yang luar biasa buat saya dan keluarga. Guru, yang hanya orang kampung tapi selalu baik dalam hidupnya. Pak Icing, saya menyebutnya Orang Baik di Gunung Salak Bogor.
Sebagai anak angkat, yang sebentar lagi bingung jika main ke rumah sendiri di Gunung Salak Bogor. Karena tak ada lagi sosok guru sejati yang menghampiri rumah kami. Guru tentang ketulusan, guru tentang kebersihan hati. Guru yang mengajarkan untuk membantu sesama. Itulah yang dia lakukan setiap harinya dalam hidup. Ada tidak ada uang, ia melakukan apa yang perlu dia lakukan. Sungguh, akhlak dan perilaku yang langka di zaman sekarang.
In Memoriam Pak Icing ini, saya tuliskan ini untuk mengenang jasa beliau yang luar biasa bagi saya dan keluarga. Mungkin juga bagi orang-orang yang pernah mengenal beliau. Mengenang orang baik yang ada di kampung. Mengenang orang kampung yang tanpa pamrih. Bergaul penuh dengan hati nurani. Sehingga jalannya menjadi mudah dan dimudahkan Allah SWT. Karena dari beliau, saya belajar dari mana sesungguhnya kita berasal dan tahu kemana kita akan berakhir?
Bapak Icing, sungguh air mata ini tak bakal mampu mengantar kebaikan yang telah Bapak ajarkan kepada kami. Tapi derai air mata ini pula yang mengantarkan doa kami sekeluarga agar Bapak diterima di sisi-Nya, diampuni segala dosa dan kesalahannya. Dan kami bersyukur, Bapak kembali ke haribaan-Nya dalam khusnul khotimah. Untuk pergi yang tidak akan kembali lagi saja, Bapak masih memberi ajaran kepada kami. Betapa penting untuk ikhtiar dan berusaha menjadi orang baik. Dalam keadaan apapun, dimanapun, jadilah orang baik.
Selamat jalan Pak Icing, selamat jalan Orang Baik di Gunung Salak. Inilah “kado terakhir’ yang bisa kami berikan untuk Bapak. #Peluk cium kami anak dan cucumu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI