MARAH SERATUS PERSEN
Gak tau kenapa, sekarang ini banyak orang doyan marah? Akhirnya jadi marah-marah. Terus, praktis hidupnya sehari-hari dekat dengan kemarahan. Lalu timbul benci. Hingga ujungnya, cari-cari terus kesalahan atau kekurangan lawannya? Gak tau kenapa bisa begitu....
[caption caption="Marah"][/caption]
Marah. Sebut aja marah seratus persen. Sifat marah yang berubah jadi kebiasaan. Begitu terus dan gak bisa diredam sedikitpun. Para pemarah, seratus persen akhirnya bersahut-sahutan. Lalu lupa siapa yang mulai, lupa pula gimana cara mengakhirinya?
Secara bahasa, atau istilah kerennya linguistik. Marah itu kata sifat yang berarti "sangat tidak senang", berang atau gusar. Lalu berubah jadi kata kerja jika diulang jadi "marah-marah", doyan marah. Kerjanya gemar memarahi, doyan bermusuhan. Dan akhirnya saling "marahan". Nah, itulah para pemarah; marah seratus persen.
Kalo baca sejarah, Nabi Muhammad SAW itu gak pernah sakit seumur hidupnya. Tau gak kenapa? Karena beliau gak pernah marah. Sederhana banget ya, logikanya berarti orang sakit itu karena doyan marah. Atau setidaknya "gagal" mengelola kemarahan, gak mampu mengendalikan marah. Miskin jiwa besar, fakir hati lapang.
Gak boleh marah. Pasti kita langsung menyanggah. Kan marah itu manusiawi. Atau bilang sok tahu kayak elo gak pernah marah aja. Silakan aja disanggah, gak apa dan gak masalah kok. Ini kan cuma tulisan doang. Gara-gara tulisan atau komen aja jadi marah-marah. Kasihan banget sih... marah kok seratus persen.
Memang, gak ada kok yang melarang kita untuk marah. Tapi marah juga bisa kok dibikin efisien. Artinya, cukup sekali aja nyatakan apa yang bikin kita marah. Jangan diulang-ulang. Atau dongkol banget sama orang yang itu-itu doang. Marah kok seratus persen.
Urusan marah, orang itu cuma ada 4 tipe aja. Cepat marah lambat reda. Cepat marah cepat reda. Lambat marah lambat reda. Dan yang paling bagus itu "lambat marah cepat reda". Nah, yang terakhir ini termasuk marah yang efisien.
Oh ya satu lagi. Marah juga gak identik dengan suara keras atau meledak-ledak. Marah gak identik dengan caci-maki, gak identik dengan kebencian. Apalagi fitnah. Marah gak harus bekoar-koar apalagi sampe satu musim. Marah bisa kok gak perlu diekspresikan. Atau marah dengan gaya yang biasa aja. Gak usah heboh gitu, biasa-biasa aja.
Gak mudah emang meredam kemarahan. Gak mudah emang untuk tidak marah. Apalagi agamanya beda, warna kulit beda atau apa aja asal ada bedanya. Tapi setidaknya, marah yang efisien bisa menyehatkan. Kita jadi gak digerogoti penyakit cuma gara-gara marah, gara-gara kemarahan yang kita buat sendiri.
Marah, yang paling mengerikan itu bisa merusak keimanan kita. Iman kita runtuh gara-gara sifat pemarah, atau kemarahan yang kita buat sendiri. Coba deh dipikirin dengan jernih.