Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hey Kamu, Kenapa Gak Cukup?

24 Januari 2017   15:25 Diperbarui: 25 Januari 2017   05:40 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

CUKUPANKata "cukup" gampang disebut, tapi sulit dikerjakan. Ketika bilang "cukup", berapa banyak orang yang buru-buru membantah. Namanya manusia otu gak akan pernah merasa cukup. Itu bantahan tentang cukup. Memang manusia, di manapun" lebih senang berbantah-bantahan. Cukupan itu maksudnya "cukup". Cu-kup. Gak usah diperdebatkan, pikiran yang cukup, perasaannya cukup atau ekonominya cukup. Terserah aja, intinya "cukup". Tidak lebih tidak kurang. Tidak berlebihan tidak berkekurangan.
Cukupan atau cukup.Kalo mau diartikan, boleh disebut "sedang-sedang saja; tidak kurang dan tidak berlebih-lebihan". Contoh, gajinya cukupan saja. Atau arti lainnya, "lumayan". Contoh, rasa makanannya cukupan enak. Terus, kita sudah "cukup" belum?Sebagian bisa jawab sudah cukup, alhamdulillah. Sebagian yang lain jawab belum cukup, gak apa. Memang susah mengukur cukup atau tidak cukup. Memang relatif bilang cukup atau gak cukup. Terserah kita masing-masing. Karena itu, kita membenarkan kalimat "selagi di dunia mana ada sih yang cukup" atau "selagi masih jadi manusia pasti ngerasa gak pernah cukup". Bisa benar bisa salah. Lalu, apakah keadaan sekarang ini sudah cukup?Ketika kita lebih senang saling unjuk kekuatan. Ketika merasa benar membela Si A lalu menyalahkan Si B. Gue pembela agama elo gak. Gue pilih Si A, elo pilih Si B. Saling bertengkar, saling hujat, saling curhat, saling merasa benar, saling menyalahkan, dan saling-saling lainnya. Coba tanya, itu semua yang kita lakukan, yang kita omongkan, yang kita bela. Sudah cukup atau belum? Cukupan atau cukup itu hati nurani. Ini bukan soal siapa yang lebih pintar berteriak benar. Atau siapa yang bicara. Atau apa yang dipertentangkan. Cukup atau belum itu soal hati. Ketika kita merasa "gak cukup" maka apa saja seolah perlu kita perbuat. Ketika kita merasa "lebih dari cukup" mungkin kita makin sok jumawa, sok berpengaruh. Itu semua bukan "cukupan". Mungkin hari ini dan esok, kita perlu belajar dan kembali memaknai tentang "cukupan". Semua yang terjadi, semua keadaan hari ini "cukup". Jangan lagi ditambahkan, jangan lagi dikurangi.  Merasa “cukup”. Sudah cukup. Cukup.Apapun, siapapun, keadaan apapun. Katakanlah sudah cukup. Gak usah berlebihan, gak usah dikurangin. Cukup, yang sudah lewat biarlah berlalu. Cukup, yang belum terjadi gak usah diduga-duga. Biarkan semuanya berjalan apa adanya, agar "cukup" buat kita. Dan jadi pelajaran moral kita. Cukupan. Cukup.Kata Pak Sindhunata, “Manusia harus rumongso karo ragane (tahu diri dengan raganya) karena merasa besar itu salah, merasa kecil itu keliru. Yang baik itu sedhengan (cukupan). Sebab sedhengan itu bisa masuk dalam hati siapa saja dan pas tidak kebesaran dan tidak kekecilan”. Kamu yang bilang, too much of anything will definitely kill you. Nah itu, udah dipraktikin belum dalam hidup kita. Cukup itu keadaan ketika kita menggunakan hati untuk merasakan, bukan akal atau ego. Benar atau tidaknya sesuatu itu dari hati. Merasa gak cukup. Mungkin, karena kita gagal memahami kita hidup untuk apa? Kita lupa dari mana kita berasal dan akan ke mana kita pergi. Kita gak cukup karena gak bisa menikmati apa yang ada. Kita gak mampu menahan diri, hati kita tertutup. Kita makin gak cukup.Karena kita kurang bersyukur, terlalu dan selalu melihat ke atas. Makin gak cukup karena mungkin kita jarang bersedekah yang konsisten dan berbuat baik yang tulus. Dan gak bakal cukup karena kita gak mau mengakui kelemahan diri sendiri, gak mau rendah hati gak mau rendah diri. Sungguh, makin gak cukup karena kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain. Kita lebih senang ngurusin orang lain daripada diri kita sendiri. Kita itu sudah cukup. Cukupan, tidak lebih tidak kurang.  Allah SWT itu menciptakan kita sebagai manusia tunggal; sempurna dan lengkap. Manusiai itu sendirian atau bersama-sama adalah wujud dari kesempurnaan, kelengkapan, dan ke-"cukup"-an kita. Kita ini sudah cukup, saat kita sendirian atau bersama orang-orang yang dihadirkan Tuhan dalam hidup kita. Bangsa Indonesia yang kita miliki, pemimpin yang ada, keluarga yang ada, sahabat yang bersama kita itu semuanya sudah "cukup". Syukurilah, terimalah apa adanya. Cukupan. Cukup.Kita perlu merasa "cukup". Gak usah berlebihan, gak usah berkekurangan. Untuk urusan apapun, soal apapun. Cukupan. Cukup.Mari kita belajar hidup dengan berkecukupan. Dan sadarilah, hanya Allah SWT yang sudah memberikan kita segalanya “berkelimpahan”.  Jika begitu, maka kita sudah cukup. Cukupan.... itulah hati nurani kita yang patut didengarkan, disadari....Salam Ciamikk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun