Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Jadi Pemimpin Organisasi Jangan Mencipta Drama

16 Januari 2025   17:11 Diperbarui: 16 Januari 2025   17:11 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat diskusi sambil baca buku di jalanan, salah seorang relawan TBM Lentera Pustaka, bertanya soal gimana pemimpin seharusnya? 

Secara sederhana, saya menjawab pemimpin yang baik itu tidak menciptakan drama di organisasinya. Tapi membangun kepercayaan dan mementingkan solusi daripada masalah. 

Pemimpin, jangan kemarin ngomong A lalu besok ngomong B. Plin-plan dan bagus hanya diomongan. Besarnya hanya di kata-kata tapi eksekusinya lemah. Dan untuk menjadi iklim organisasi, pemimpin harus kolaboratif bukan cuma merasa pikirannya benar sendiri. Akhirnya, organisasi jadi garing, hambar dan malah anggotanya "takut" bersuara. 

Ini ada cerita di suatu organisasi. Pemimpin yang terpilih, orangnya dulu bukan siapa-siapa. Waktu mau nyalon, minta dukungan sana-sini. Dan akhirnya menang walau bukan suara mutlak. Tapi ketat, selisih 1 suara. Lalu, apa yang terjadi? Setelah setahun memimpin, sebagian besar anggotanya kini merasa "kecele". Jadilah pemimpin yang tidak seperti yang diharapkan. Karena dianggap angkuh, subjektif, dan orangnya milih-milih. Kasihannya, organisasi jadi nggak kondusif. Grup WA-nya jadi garing dan hambar, hampir mendekati cuek atas kepemimpinannya. Kasihan kan bila organisasinya yang jadi "korban". 

Si pemimpin lupa, untuk apa buang waktu untuk mempersoalkan masalah, bukan malah mencari solusi atas masalah. Pemimpin yang gagal bersinergi dan berkolaborasi, justru hanya membuat iklim organisasi jadi nggak kondusif. Apalagi tidak mampu menghargai orang lain. Kekuasaan justru dipakai untuk mempertontonkan arogansi dan subjektivitas. Jelas pemimpin model begitu salah.

Pemimpin itu harus bergaul, biar wawasannya luas. Biar paham cara berorganisasi, bukan menjadikan organisasi "sekarepne dewe". Apalagi organisasi nirlaba. Pemimpin yang fokus pada visi misi, bukan pada orang apalagi hanya jadi sarana mengejar popularitas. 

Mohon maaf nih, bukannya menggurui. Sebenarnya banyak literatur sudah menyebut, pemimpin yang baik dan dianggap bisa memajukan organisasi bila punya kemampuan komunikasi dengan baik. Komunikasi yang efektif dan efisien namun fokusnya pada tujuan dan program organisasi, bukan yang lainnya. Karena komunikasi itu pula, visi dan misi yang dicanangkan dapat dieksekusi setelah melewati pengambilan keputusan yang objektif, yang tepat bukan atas dasar subjektivitas. 

Selain itu, pemimpin yang baik juga harus punya empati, untuk memahami perasaan, kebutuhan, dan aspirasi anggotanya. Sekaligus punya kesadaran akan kekuatan dan kelemahan organisasinya dan dirinya sendiri. Sehingga sinergi dan kolaborasi diperlukan untuk mengelola dan menempuh jalan organisasi yang sesuai harapan. Pemimpin harus punya daya resiliensi yang kokoh, untuk mengatasi tantangan bukan malah "memainkan masalah" secara internal. Malah mencipta drama yang tidak pernah berakhir.

Kepemimpinan itu dikelola, jabatan itu amanah. Maka siapapun yang jadi pemimpin, harusnya fokus pada produktivitas organisasi. Punya kreativitas dan inovasi untuk mengembangkan organisasi menjadi lebih baik, bukan malah sebaliknya. Apalagi pemimpin bertindak arogan, dengan membatasi ruang gerak dan hak-hak demokrasi orang lain. Berbeda pendapat dan pandangan itu sah dan dibenarkan. Tapi bukan mengebiri orang yang beda pandangan. Apalagi menerapkan cara-cara komunikasi yang subjektif. Hingga bermain drama, apa yang diucap berbeda dengan apa yang dilakukan. 

Di zaman begini, pemimpin ya g baik harus mampu mengakomodasi konflik. Kata buku Ian Craib, orang yang berbeda pendapat justru diakomodir untuk memajukan bukan disingkirkan. Konflik atau masalah pasti ada di mana saja, hanya ilmu dan kepemimpinan yang baik yang mengakomodasikannya menjadi potensi yang membuat organisasi lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun