Lagi viral soal program wajib Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), tapi diplesetkan jadi "tabungan penderitaan rakyat". Sejak Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada 20 Mei 2024, berarti setiap pekerja diwajibkan terkena potongan gaji sebesar 3 persen untuk program tapera (terdiri dari 0,5% dari pemberi kerja dan 2,5% dari pekerja). Pertanyaannya, apa bisa dengan uang tapera bisa untuk membeli rumah?
Mari kita ilustrasikan saja. Anggap saja ada pekerja usianya 25 tahun dan gajinya Rp. 5 juta per bulan. Bila mengikuti Tapera, agar punya rumah maka gajinya dipotong 3%. Itu berarti, nilainya sebesar Rp. 150 ribu per bulan. Dalam satu tahun = Rp. 1,8 juta. Bila si pekerja memulai di usia 25 tahun dan pensiun di usia 58 tahun, maka uang tapera yang terkumpul selama 33 tahun mencapai Rp. 59, 4 juta (tidak sampai Rp. 60 juta). Memang angka itu, belum termasuk hasil investasi. Tapi sejago-jagonya investasi, bisa jadi tidak akan melebihi dua kali lipat dari akumulasi dana Tapera-nya. Â Â
Andai saja si pekerja tadi jadi peserta Tapera tahun 2025 ditambah 33 tahun masa bekerja. Maka si pekerja akan pensiun di 2058. Apa benar uang Tapera yang jumlahnya Rp. 59,5 juta bisa dibelikan rumah? Sekarang saja, uang segitu belum tentu bisa beli rumah. Jadi, rumah model apa yang bisa dibeli dengan uang Tapera dan Dimana rumahnya?
Terkadang, pemerintah suka lucu. Tanpa sosialisasi tanpa kajian yang mendalam, tahu-tahu bikin program yang "mewajibkan". Jadi kayak study tour, ikut tidak ikut program wajib bayar. Bagaimana dengan pertanggung-jawabannya? Apa cuma mau mengumpulkan uang rakyuat atas nama negara? Urusan jaminan pensiun saja belum kelar-kelar. Sekarang ada lagi urusan rumah, yang notabene malah menambah beban pemberi kerja dan pekerja.
Urusan rumah memang penting dan primer. Tapi caranya harus tepat. Kenapa jadinya Tapera malah "mengumpulkan" uang rakyat secara wajib (tanpa membedakan mana yang sudah punya rumah mana yang belum?). Kan bisa pemerintah bikin skema yang perumahan-nya dibangun terlebih dulu, baru dijual ke pekerja dengan mekanisme KPR yang ringan (bila perlu tanpa subsidi). Ada kok skema perumahan yang lebih baik dan pas untuk pekerja, ketimbang Tapera.
Atau selama ini kan ada program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) di BP Jamsostek. Optimalkan saja program MLT itu, toh saat ini dananya sangat besar tapi masih sedikit yang memanfaatkannya. Itu berarti, program perumahan pekerja tidak di-buy in oleh pekerja. Atau bila mau "dipaksakan", silakan saja pemerintah jalankan dulu program Tapera di ASN, TNI/POLRI. Bagaimana realisasinya dan seperti apa? Bila oke progressnya dan hasil evaluasi bagus, barulah diterapkan ke pekerja sektor swasta.
Bangsa kita ini memang besar dan potensi ekonominya pun besar. Tapi kadang, orang-orang pintar yang menyusun program "wajib" suka "ngaco", seenak-enaknya. Program wajib yang ada saja belum berjalan optimal (JHT - JP), sekarang bikin lagi program wajib lainnya. Rakyat jadi suka bingung, mau gimana dan mau ke mana sih?
Balik lagi ke ilustrasi rumah Tapera. Apa bisa uang Tapera yang Rp. 59,4 juta untuk membeli rumah di tahaun 2058? Jadilah literat! Salam literasi #UangTapera #BeliRumah #TBMLenteraPustaka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H