Ada yang menarik saat event Festival Literasi Gunung Salak #6 -- HUT ke-6 TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak. Pasalnya, ada 2 (dua) motor yang dipajang di depan panggung. Satunya motor tua berwarna merah, satunya lagi motor baru warna abu-abu. Kok, bisa-bisanya motor (apalagi sudah tua) dipajang di depan panggung?
Sebelum memberi sambutan di Festival Literasi Gunung Salak #6 (19/11/2023), Pak Teguh Sugiarto, Sekretaris Camat Tamansari Kabupaten Bogor pun bertanya. Ini motor apa kok di depan panggung? Saya pun dengan antusias menjawabnya. Saya katakan, yang warna merah itu motor tua disebut MOtor BAca KEliling (MOBAKE), sebaagi motor perintis adanya layanan baca keliling ke kampung-kampung yang dijalankan TBM Lentera Pustaka sejak Februari 2022. Sedangkan yang di sebelahnya, Motor Pustaka, motor hibah dari Pustaka Bergerak dan LPDP-Dana Indonesiana juga untuk mendukung aktivitas sediakan akses bacaan ke kampung-kampung sekitar kaki Gunung Salak. Â
Lah terus, apa pentingnya motor tua itu ada di depan panggung? Justru, saya menempatkan di depan panggung agar orang-orang tahu. Bahwa dari motor tua pabrikan tahun 1997 itu, akhirnya lahir inspirasi untuk menyediakan layanan motor baca keliling. Sebuah layanan bergerak untuk sediakan akses bacaan ke kampung-kampung yang selama ini tidak punya akses bacaan. Tidak ada tujuan lain, selain menyediakan akses bacaan. Demi tegaknya perilaku membaca anak-anak usia sekolah. Istilahnya, buku yang "mendekatkan diri" ke anak-anak.
Memang agak sulit dijelaskan. Kenapa motor tua egitu penting? Sementara orang lain berlomba-lomba mengganti motor tua dengan motor baru. Atau menyimpan motor tua di belakang panggung, justru TBM Lentera Pustaka meletakkan motor tua di depan panggung. Agar terlihat oleh orang banyak. Yah begitulah nyatanya. Karena dari motor tua di TBM Lentera Pustaka, saya diajarkan untuk terus berkomitmen dan konsisten dalam menebar kebaikan melalui buku-buku bacaan. Motor tua yang terbukti jauh lebih punya manfaat untuk orang banyak dalam menyediakan akses bacaan ke masyarakat.
Bagi saya, tidak masalah motornya tua. Asal berguna dan bisa bermanfaat untuk orang lain. Dari motor tua itu pula saya belajar. Bahwa penampilan atau gaya hidup bukanlah satu-satunya cara melihat sesuatu. Tapi lihatlah manfaatnya, lihatlah dampaknya. Motor tua sebagai simbol kesederhanaan sekaligus apa adanya saja. Tidak perlu merekayasa diri untuk tampak lebih baik di mata orang lain. Karena sejatinya, penilaian itu bukan pada manusia tapi ada pada Allah SWT. Tentang apa yang sudah diperbuat dan seberapa manfaat manusia ada di muka bumi?
Motor tua untuk motor baca keliling. Tidak masa disebut motor tua dan sudah berkarat. Asal tidak dipakai untuk bermaksiat. Dan hingga kini pun, saya masih masih mengendarainya motor tua (motor baca keliling) sebagai "driver MOBAKE" tiap Minggu sore di kaki Gunung Salak Bogor. Tertarik untuk jadi driver motor baca keliling? Â Salam MOBAKE! #MOtorBAcaKEliling #MotorPustaka #TBMLenteraPustaka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H