Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Macet Bulan Puasa & Lebaran Makin Parah, Apa Iya Urusan Perut?

13 April 2023   07:16 Diperbarui: 24 April 2023   14:20 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak kawan komplain. Katanya, macet di Jakarta justru makin parah di bulan puasa. Apalagi jam pulang jam kantor, jelang waktu berbuka puasa alias maghrib. Hampir tidak bergerak di jalanan. Bahkan tidak sedikit pekerja yang terpaksa berbuka puasa di jalan. Akibat macet yang kian parah.

Macet, padatnya kendaraan di jalan raya. Memang sulit diurai, sudah dipecahkan di Jakarta. Seperti penyakit yang "hampir" tidak ada obatnya. Ibarat pepatah bak "angin berputar ombak bersabung". Macet, suatu perkara yang tidak mudah. Soal di kota Jakarta yang sulit dipecahkan. Jakarta memang kota megapolitan, kota hebat di mata banyak orang seantero nusantara. Tapi dalam urusan macet, Jakarta harus mengakui "kekurangannya". Harus sadar jadi kota yang tidak nyaman untuk pengendara di jalanan.

Jakarta boleh dibangga-banggakan sudah berhasil ini dan itu. Bahkan "dijual" sebagai alat perjuangan politik untuk menaikkan "panggung" kandidat presiden. Menganggap semua yang dikerjakan di Jakarta berhasil. Tapi untuk urusan macet, Jakarta boleh disebut kota yang mengerikan. Macet yang kian parah. Tentu, sangat merugikan dari nilai ekonomis. Berapa uang yang "dibakar" di jalan-jalan di Jakarta?

Mengatasi kemacetan di Jakarta, sepertinya tidak ada formula yang paling pas. Three inone sudah di coba, ganjil-genap sudah diterapkan. Imbauan memakai moda transportasi umum pun terus disosialisasikan. Tilang elektronik alias ETLE pun sudah implementasi. Terus, mau apalagi? Sudah bergonta-ganti gubernut, macet di Jakarta belum ada solusinya.  Siapapun di Jakarta, harus terus bersabar di jalanan. Harus terus ikhtiar untuk lebih sadar saat di jalan. Terus berjuang mencari cara yang lebih efektif atasi kemacetan.

Katanya, macet itu terkait urusan perut. Mau makan apa bila tidak kerja? Berangkat pagi pulang larut. Untuk sesuap nasi. Apalagi ditambah tanggungan di rumah, harus menafkahi 3 atau 4 orang. Sekaligus cerminan tanggung jawab atas pekerjaan. Hingga terjebak pada rutinitas kerja. Agar punya uang yang cukup, pangkat yang lumayan, dan status sosial yang tinggi. Tentu, sangat bisa dimaklumi. Hingga macet tidak lagi dipedulikan. Padahal, karena macet. Tidak sedikit orang yang stress, sakit hingga gelisah. Jadi, mau apa lagi kita dengan macet? 

Seperti semangat bulan puasa, macet pun harus dijalani dengan tawadhu dan istikomah. Tetap sabar dan bersyukur atas kemacetan. Apalagi nanti, saat arus mudik berlangsung. Macet adalah hal yang biasa. Tidak ada yang salah dengan macet. Semuanya benar, atas dasar alasannya masing-masing. Asal saat macet, harus tetap seimbang anatar hati dan logika. Agar tidak merasa serba salah saat di jalanan.

Jakarta memang indah lagi sibuk. Makanannya pun enak-enak. Orang-orangnya pun katanya ramah. Tapi harus tetap bersahabat dengan kemacetan. Sebagai bukti bahwa bikin aturan memang mudah. Omongan pun gampang. Tapi yang susah itu menerapkannya dengan baik. 

Maka, siapapun harus tetap menyenangkan bila terjebak dalam kemacetan lalu lintas di mana pun. Salam literasi. #KotaJakarta #CatatanRamadan #TBMLenteraPustaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun