Umumnya, saksi ahli bahasa berasal dari kalangan akademisi atau praktisi yang akademisi. Kriteria saksi ahli bahasa harusnya 1) memiliki latar belakang pendidikan bidang bahasa, 2) memiliki pekerjaan pendidikan bahasa, dan 3) memiliki pengalaman di bidang kebahasaan. Atas dasar itu, keberadaan saksi ahli bahasa harus dihormati dan dihargai. Karena ahli bahasa, sebagai seorang profesional mau atau bersedia untuk menyumbangkan pemikiran keahliannya untuk kasus hukum tertentu, termasuk mengorbankan waktu dan tenaganya untuk memberikan informasi tekait bahasa agar kasus menjadi terang-benderang.
Selain itu, untuk menjadi "saksi ahli bahasa", suka tidak suka, syarat utamanya adalah si ahli bahasa harus berpijak pada sikap ilmiah. Yaitu, sikap-sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap ilmuwan atau ahli dalam melakukan tugasnya untuk mempelajari, menganalisis, dan menolak atau menerima suatu teks bahasa. Sikap ilmiah inilah yang mendasari saksi ahli bahasa untuk memegang prinsip ilmiah yang harus 1) objektif, 2) logis, 3) sistematis, dan 4) valid-reliabel. Selain itu, seorang saksi ahli bahasa pun harus memahami benar akan "bahaya" sikap ilmiah, yang notabene bisa terjadi pada seoarang ahli atau pakar. Beberapa sikap ilmiah yang bahaya antara lain: 1) melakukan generalisasi secara gegabah, 2) membuat abstraksi intelektual ekstrem, 3) mengambil kesimpulan yang keliru, dan 4) memanipulasi data/fakta.
Bila ada kasus hukum yang akhirnya menimbulkan keributan antara terdakwa dan saksi ahli bahasa atau antara hakim dengan saksi ahli bahasa, bisa jadi hal itu disebabkan oleh pengabaian terhadap kriteria saksi ahli bahasa atau sikap ilmiah di ahli bahasa. Maka, aparat hukum maupun masyarakat harus memahami tentang keberadaan saksi ahli bahasa. Sebagai contoh, keterangan ahli yang saya berikan saat diminta menjadi saksi ahli bahasa pada suatu kasus pencemaran nama baik. Saat ada pemberitaan online detiknews.com pada tanggal 28 Januari 2019 dengan judul "Prabowo Siap Terima Dukungan Keturunan PKI, PKPI: Mereka Panik? Deliknya, apakah kalimat tersebut mengandung unsur perbuatan provokatif atau unsur yang berpotensi adanya perbuatan menghasut?
Adapun analisis yang saya lakukan adalah sebagai berikut:
- Â Struktur kalimat inti: Mereka Panik (S-P), secara makna: Mereka = kata ganti orang bersifat jamak/tidak ada rujukan spesifik - Panik berarti "bingung; gugup". Jadi, kata "mereka" tidak ada rujukan orang tertentu yang dituju karena bersifat jamak.
- Potensi menghasut ada pada kata "panik" (membangkitkan orang supaya marah), tapi karena subjek (mereka) bersifat jamak, maka tidak spesifik yang dimaksud siapa?
- Dari segi tindak tutur: kalimat terebut bersifat "ekpresif" (tanggapan atas konteks sebelumnya) bukan "deklaratif" (menciptakan keadaan baru).
- Maka simpulannya: tidak ada makna menghasut, di samping rujukan subjek bersifat jamak bukan tunggal.
Patut dipahami, seorang saksi ahli bahasa biasanya memberikan keterangan atau pendapat di bidang keahlian bahasa sebagai bagian proses "pembuktian" terhadap teks tertulis untuk dinyatakan mengandung perbuatan melawan hukum atau tidak. Saksi ahli bahasa pun bertindak atas tanggung jawab profesional. Karena itu, siapapun atau masyarakat harus berhati-hati dalam bertutur atau memberi komentar dalam aktivitas berbahasa sehari-hari khususnya di media sosial. Karena bila salah, bukan tidak mungkin dapat dijadikan delik aduan yang dianggap melanggar hukum, seperti: pencemaran nama baik, penghinaan, berita bohong atau hoaks apalagi fitnah. Jangan sampai karena persoalan ketidak-tahuan atau emosi sesaat menjadikan "kata-kata dan kalimat" dalam berbahasa berujung ke laporan polisi atau kasus hukum.
Sejatinya, saksi ahli bahasa dalam melihat suatu kasus pencemaran nama baik, ujaran kebencian atau hoaks biasanya bertumpu pada analisis gramatika, semantik, dan struktur bahasa yang tersaji pada teks yang dipersoalkan. Bila teks-nya memenuhi kriteria kebahasaaan yang melawan hukum maka jadilah kasus hukum. Namun bila tidak memenuhi kriteria kebahasaan yang melawan hukum maka akan gugur dengan sendirinya secara analisis bahasa. Jadi, hati-hati dengan bahasa dan teks yang disajikan di mana pun. Gunakanlah bahasa tetap apa adanya, bukan ada apanya. Agar tidak jadi masalah hukum di kemudian hari. #PencemaranNamaBaik #SaksiAhliBahasa #PegiatLiterasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H