Siapa sih yang nggak tahu ngalor ngidul? Saat berbicara tidak ada ujungnya. Pangkalnya nggak jelas, maksud dan tujuannya apalagi. Semuanya dijadikan bahan omongan. Negara, pemimpin, hingga orang lain pun diomongin. Solusi nggak ada, malah jadinya gibah, fitnah, gosip dan sejenisnya.
Â
Ngalor-ngidul, bisa jadi hobby orang-orang digital. Akibat gawai ada di genggamannya. Segala hal dibicarakan. Apa saja dikomentari. Tapi semua nggak ada solusinya. Omongan tanpa aksi nyata. Disangkana, semua masalah bisa selesai dengan diomongin. Akhirnya, ngalor-ngidul, ke selatan ke utara tapi nggak ada apa-apanya.
Dulu, setahu saya yang suka ngalor ngidul itu. Mereka yang suka nongkrong di warung kopi. Atau di pos ronda alias begadangan. Tapi zaman now, ngalor ngidul sudah jadi hobby. Orang pintar, pegiat media sosial, hingga orang biasa yang punya mimpi besar. Harusnya begini, harusnya begitu, Bagusnya begini bagusnya begitu. Tapi itu semua hanya diomongan. Sing ngalor ya ngalor, sing ngidul ya ngidul. Ngalor-ngidul. Bikin realitas makin jauh dari harapan. Omongannya bertolak belakang dengan perilakunya. Komentarnya justru berselisih dengan kebiasaannya.
Ada benarnya ungkapan "manusia butuh waktu dua tahun untuk belajar bicara, tetapi butuh waktu berpuluh-puluh tahun untuk belajar diam". Orang yang sudah jelek malah dijelek-jelekin. Orang yang salah, bukan dibantu untuk diperbaiki. Malah disalah-salahkan. Wajar, hoaks dan ujaran kebencian begitu marak. Belum menyaring sudah men-sharing. Lalu dengan lagak biak, bertanya ""ini benar gak ya?".
Kaum ngalor ngidul itu sudah hilang sifat hati-hatinya. Gagal menahan diri bahkan gemar memperkeruh suasana. Mereka lupa, terlalu banyak bicara itu justru bisa mengeraskan hati. Akin lupa, bahwa lisan itu bisa berbuah petaka atau syarat masuk neraka. Sembarang menyebar berita yang belum tentu benar. Tidak pernah mempertimbangkan sesuatu itu baik atau buruk. Karena ngalor-ngidul sudah jadi perilaku dan kebiasaannya.
Ngalor ngidul, sering kali membuat rancu antara orang salah atau benar. Kaum ngalor ngidul prinsipnya hanya bicara, wajib komentar. Nggak peduli benar atau salah. Asalkan sudah bisa komentar, puaslah hati dan pikirannya. Kaum ngalor-ngidul sama sekali nggak literat. Gagal memahami relaitas, terlalu peduli terhadap urusan orang lain. Tanpa pernah mau introspeksi diri. Ngalor-ngidul.
Maka saran untuk kaum ngalor-ngidul. Berlatihlah untuk diam. Atau main ke taman bacaan agar lebih banyak membaca sebelum berbicara. Mampu mengubah niat baik jadi aksi nyata. Fokus pada solusi bukan masalah. Silakan berkunung ke Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak. Untuk lebih peduli pada solusi, lalu berhenti jadi kaum ngalor-ngidul.
Jangan larut pada kebiasaan ngalor-ngidul. Karena bagusnya dunia itu justru ketika terpisah antara yang bagus dan jelek. Sebaliknya, jeleknya dunia itu terjadi saat bagus dan jelek dicampur-adukkan. Berhentilah ngalor ngidul. Cukup diam atau membaca buku. Agar lebih literat. Karenanya Nabi Muhammad SAW pun bernasihat "Cukuplah sebagai bukti kedustaan seseorang bila ia menceritakan segala hal yang ia dengar." Salam literasi #TamanBacaan #BacaBukanMaen #TBMLenteraPustaka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H