Kata banyak orang, lebih baik ambil posisi di tengah-tengah. Dalam urusan apa pun, sebaiknya di tengah. Tidak kiri, bukan pula kanan. Berkawan pun cukup di tengah-tengah. Tidak usah terlalu dekat, tidak pula terlalu jauh. Selain bersikap netral, tengah pun mampu menjadikan siapa pun lebih objektif. Lebih realistis dalam melihat apa pun.
Kenapa tengah? Karena zaman now, banyak hal yang sudah kebablasan.
Urusan politik kebablasan, urusan kerjaan pun kelewat batas. Contoh kecil Bupati Bogor yang kena OTT KPK. Kok bisa? Kakaknya Rahmat Yasin korupsi dan ditahan. Kini adiknya pun tidak mau kalah, baklan mendekam pula di penjara. Akibat kebablasan pada kekuasaan dan lupa untuk jadi orang di tengah-tengah (baca: hati-hati).
Orang-orang zaman now kebablasan. Membenci negara dan pemimpin kok terus-menerus. Sehari-hari hanya ngomongin orang atau segala keburukan. Tapi mengaku ber-akhlak baik. Kerjanya gosip atau kepo sama urusan orang lain. Lupa tanya kepada diri sendiri, memangnya saya siapa? Merasa diri sudah jadi orang baik. Lupa bahwa Allah SWT yang telah menutupi aibnya.
Banyak orang terlalu condong ke kiri, condong ke kanan. Jilat sana jilat sini. Hujat sana hujat sini. Apa pun yang tidak sesuai dengan harapannya, pasti dibenci. Bila perlu disebarluaskan, agar orang lain terpengaruh. Itulah orang-orang yang lupa untuk berada di tengah. Gagal bersikap untuk berdiri di tengah-tengah (hati-hati). Agar lebih objektif dan realistis dalam melihat persoalan apa pun.Â
Manusia zaman now lupa. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang hidupnya senang terus. Dan tidak ada pula yang sedih melulu. Cinta dan benci itu silih berganti. Suka dan duka pun sering berganti musim. Karena semua sudah ada dalam kehendak-Nya. Jadi rileks saja dan tetaplah berdiri di tengah. Tidak usah merasa paling nestapa. Atau merasa terlalu bahagia. Cukup, di tengah-tengah. Karena apa pun yang di tengah, biasanya nikmat dan indah pada waktunya.
Cukup di tengah-tengah. Â Bila tidak suka ya tidak perlu benci melulu, Jika tidak mampu baik ya jangan jahat. Bila tidak mampu cinta ya kenapa harus benci. Bahkan jika suka pun tidak usah terlalu gembira. Suka duka itu hal yang lazim, kalah menang itu biasa. Maka cukup di tengah-tengah saja. Karena di tengah itu paling pas untuk siapa pun.
Di tengah-tengah itu indah. Agar hidup lebih seimbang. Seimbang antara keinginan dan kenyataan. Seimbang pikiran dan perilaku. Seimbang ego vs logika, seimbang kemauan vs tuntunan. Jalan di tengah, agar seimbang. Tidak usah terburu-buru. Tapi juga jangan terlalu pelan. Tetaplah di tengah agar objektif. Seperti suara hati pun tengah. Terdengar lirih tapi jelas.
Seperti pegiat literasi di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Selalu menjaga posisi di tengah. Bicara yang benar sekalipun pahit. Tapi berani meminta maaf bila salah. Taman bacaan pun tidak usah terlalu merasa sepi bila anak-anak pembacanya sedikit. Dan tidak perlu bangga atau jumawa bila anak-anak pembacanya ramai. Taman bacaan pun punya hukum pasang-surut. Itu semua lazim terjadi. Asal tetap komitmen dan konsisten berada di taman bacaan. Apa pun kondisinya, seberapa pun besar tantangannya.Â
Bila hari ini, ada orang yang terlalu bersemangat membenci. Terlalu bergairah menghujat orang lain. Terlalu kencang ingin tahu urusan orang lain. Semua itu terjadi karena mereka "sudah jauh" dari jalan tengah. Terlalu berlebihan. Terlalu benci, bahkan terlalu kebablasan. Hingga tergelincir ke jalan setan, tanpa disadarinya. Jalan yang menurut pikirannya benar padahal salah. Lupa ya bila orang lain dianggap salah, apa kamu pasti benar?