Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Buku Sedunia, Kenapa Membenci yang Tidak Seharusnya Dibenci?

23 April 2022   09:31 Diperbarui: 23 April 2022   09:33 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: TBM Lentera Pustaka

Kisah ini sering terjadi di Indonesia. Saat beberapa orang pintar ngobrol di kedai kopi. Kata mereka, "Kenapa ya, bangsa Indonesia yang kaya raya seperti ini kok penduduknya masih banyak yang miskin?". Itulah obrolan orang-orang keder, bukan orang pintar. Mereka yang ngobrol, lalu mereka yang tanya pula. Anehnya, kok bisa-bisanya tidak ada di antara mereka yang mampu menjawab. Aneh sekali, mampu mempertanyakan tanpa mampu menjawabnya.

"Kenapa ya, bangsa Indonesia yang kaya raya kok penduduknya masih banyak yang miskin?" Jawabnya sederhana, karena kita tidak mau mengakui. Bahwa kita tergolong kaum yang tidak mampu berbuat apa-apa. Fokusnya hanya pada masalah, bukan solusi. Terlalu banyak bertanya tanpa mau berjuang untuk mencari jawabannya. Banyak bicara tapi sangat sedikit berbuat. Jadi, hanya bisa menyalahkan orang lain, menyalahkan bangsanya sendiri.

Berani mengakui realitas, itulah makna hari buku sedunia. Karena pengakuan, bisa jadi hal yang langka hari-hari ini. Banyak orang tidak mau mengakui keadaan yang objektif. Gagal mengakui bahwa kita belum optimal berbuat. Bangsa Indonesia sangat butuh keberanuian untuk mengakui. Pengakuan tentang apa saja. Mengaku belum optimal berbuat nyata untuk bangsanya. Mengaku belum maksimal berbuat untuk rakyatnya. Harus diakui. Mengaku salah, mengaku banyak kekurangan, mengaku tidak membaca buku. 

Ketika minyak goreng langka dan mahal, kita marah-marah. Saat mafia minyak goreng ditetapkan tersangkam dibilang gimik. Jadi maunya gimana? Kok, semakin pintar semakin tidak mampu mengakui keadaan yang objektif. Masih ingat dulu, wabah Covid-19 dituding rekayasa. Covid-19 divonis sebagai propaganda negara lain. Tapi faktanya, menimbulkan korban jiwa puluhan ribu. Semua orang dibatasi dan terpaksa "berdiam di rumah" selama 2 tahun. Kenapa tidak mau mengakui keadaan? Kita butuh memperbesar sikap untuk memgakui di hari buku sedunia.

Sebuah pengakuan di hari buku sedunia. 

Setengah dari populasi orang Indonesia, 180-an juta orang, Saat ini sudah punya akses internet. Tapi sayang, tradisi membaca tidak lebih dari 1 jam sehari. Sementara berselancar di dunia maya bisa 5-8 jam sehari. Internet ada genggaman tangan. Tapi digunakan untuk hal yang tidak produktif. Begitu diingatkan jangan main internet terus? Langsung jawab, kuota punya gue handphone punya gue. Ngapain sih mikirin urusan orang?

Maka akuilah, apa pun yang terjadi. Pengakuan adalah cara mudah untuk muhasabah diri, untuk instrospeksi diri. Karena terlalu banyak sisi kehidupan kita yang belum mau diakui. Saat kita belum berbuat optimal, maka masalah bangsa pun akan tetap ada. Lagi pula, memang ada satu bangsa di dunia ini tanpa masalah? Jadi, akuilah realitas yang terjadi dan berbuatlah untuk mencari solusi atas masalah. Bukan hanya bisa mempermasalahkan lalu menyalahkan orang lain.

 Di dekat kita, ada orang-orang tidak punya uang tapi bergaya selangit. Ada kaum jomblo yang sibuk ingin berduaan. Seperti orang-orang yang merasa peduli sosial tapi tidak berbuat apa-apa selain ocehan. Ibarat "orang yang memegang buku tapi tidak pernah membacanya". Maka akuilah realitas yang harus diakui. Termasuk mengakui kekurangan diri sendiri. Mau mengakui, kita belum berbuat apa-apa. Lalu, kenapa harus membenci orang tidak seharusnya dibenci?

Di Hari Buku Sedunia, 23 April ini. Inilah momen untuk bersikap objektif. Untuk lebih berani mengakui realitas. Untuk menambah energi untuk memberi solusi bukan mempermasalahkan. Jangan hanya bisa menuding orang lain tanpa mau mengakui kesalahan diri sendiri. Untuk introspeksi diri, muhasabah diri apalagi di bulan puasa. Bahwa dalam hidup, banyak hal yang harus terus diperbaiki, baik untuk diri sendiri, untuk lingkungan, dan untuk bangsa Indonesia. Berpikir lebih positif dan bertindak lebih manfaat. Agar hidup atas apa yang diperbuat bukan atas yang diomongkan.

Maka bacalah buku kembali. Bila belum mampu berbuat optimal untuk siapa pun dan apa pun. Karena buku adalah sumber ilmu terbaik bagi siapa pun yang membacanya. Buku pun bisa jadi sahabat paling setia yang rela mendampingi siapa pun dalam keadaan apa pun. Tanpa pernah mempermasalahkan dibaca atau tidak dibaca. Karena sebaik-baik teman sepanjang zaman adalah buku. Dan bila tidak mempu membaca buku lagi, maka diamlah. Tidak usah banyak omong atau menuding orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun