Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dikasih Tontonan MotoGP yang Dibahas Pawang Hujan, Netizen Jarang Sarungan

23 Maret 2022   07:02 Diperbarui: 23 Maret 2022   08:18 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: TBM Lentera Pustaka

Netizen memang jarang sarungan. Mungkin tidak pernah pakai sarung. Dikasih tontonan MotoGP ehh yang dibahas soal pawang hujan. Event besar internasional ujunganya membahas klenik. Kok bisa? Karena jarang sarungan, wajar menjaga pikiran positif saja sulit.

Sarung selalu diidentikkan dengan santri atau orang pondok. Bahkan tidak sedikit orang yang menyangka orang yang sarungan sebagai orang tradisional. Tentu, boleh-boleh saja. Tapi yang pasti, sarung itu hanya simbol. Agar siapa pun bersikap lapang hati dan mau menerima realitas. Karena saat memakai sarung, tidak ada orang besar atau orang kecil. Tidak ada pangkat atau jabatan. Semuanya setara saat sarungan. Sarung, tidak pernah membeda-bedakan manusia yang memakainya.

Tapi sayang, saat ini makin banyak orang jarang sarungan. Jarang memakai sarung. Buktinya banyak orang gagal menahan diri. Dikasih tontonan MotoGP malah yang dibahas soal pawang hujan. Gelaran event internasional yang dikomentarin soal klenik-nya. Bukankah orang berdoa untuk memberhentikan hujan tidak masalah? Lagi pula, cara orang dalam ikhtiar dan doa kan berbeda-beda. Alsannya sederhana, karena jarang sarungan. Gagal fokus, gagal menahan diri. 

Makanya sarungan, agar mampu menahan diri. Jadi tidak mudah reaktif apalagi emosional. Tidak gemar menebar hoaks. Tidak suka ngomongin orang. Karena setiap manusia dilahirkan dengan segala lebih dan kurangnya. Memakai sarung atau sarungan berarti mau menahan diri. Sebab biasanya, apa yang ada di dalam sarung itu "sesuatu" yang berbahaya. Makanya keris, pistol selalu ada sarungnya. Agar tidak berbahaya untuk orang lain. Tapi sayang, mulut manusia tidak ada sarungnya? Jari-jari tangan di medsos pun tidak ada sarungnya.

"Bagai menghasta kain sarung", begitu kata pepatah. Artinya, jauhilah perbuatan yang sia-sia. Tidak usah bicara yang tidak penting atau yang tidak dikuasai. Jangan sibuk untuk urusan yang tidak bermanfaat. Fokuslah pada kebaikan. Seperti pegiat literasi di taman bacaan yang selalu fokus menegakkan tradisi baca dan budaya literasi masyarakat. Demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi di kampung-kampung. Karena taman bacaan memposisikan sebagai tempat belajar menerima kelebihan dan kekurangan satu sama lainnya. Bukan hanya tempat baca apalagi gudang buku. Taman bacaan yang menebar manfaat dan kebaikan sekecil apa pun seperti yang dijalankan TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor.

Kaum sarungan. Adalah simbol bagi mereka yang tidak bertuhan kemewahan. Namun selalu berteman pada kesederhanaan. Hanya fokus menebar manfaat, menjalani kebaikan sekecil apa pun. Karena "urip iku mung mampir ngombe". Hidup itu hanya mampir sebentar.

Mamakai sarung atau sarungan. Tidak ada urusan dengan gengsi atau prestise. Karena sarung mengajarkan pemakainya soal nilai-nilai kehidupan. Untuk mampu menahan diri, tidak egois, Mau menjaga diri dari nafsu dunia. Bahkan mampu melindungi orang lain agar tidak mendapat keburukan darinya. Pakailah sarung untuk membangun peradaban baik. Tidak asal omong, bukan asal celoteh. Sungguh, tidak ada bangsa atau lingkungan yang maju. Bila kerjanya hanya omongan.

Di Indonesia itu, ada sarung ada kerudung. Ada kebaya ada koteka. Semua jadi bukti bahwa selalu ada perbedaan pada tiap manusia, tiap budaya. Berbeda itu fakta, tidak sama itu sesuatu yang lazi.. Tapi yang penting adalah menyikapi sebuah fakta. Seperti pesan moral sarung, selalu mengajar satu akhlak. Yaitu, selalu melindungi apapun yang ada di dalamnya. Selalu bersyukur atas apa yang sudah dimilikinya. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun