Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor LSP Dana Pensiun Lisensi BNSP - Edukator Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pegiat Literasi Dilarang Gengsi

21 Februari 2022   16:57 Diperbarui: 21 Februari 2022   17:03 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: TBM Lentera Pustaka

Zaman begini, banyak orang gila gengsi. Nongkrong di kafe-kafe demi gengsi, eksis di medsos biar dibilang bergengsi. Sebab gengsi, katanya kehormatan jadi tinggi. Martabat jadi oke. Tanpa gengsi dianggap tidak punya eksistensi. Disangka gengsi bikin terhormat? Akibat gengsi, hidup yang mudah malah jadi susah. Faktanya, banyak orang dijajah gengsi.

 Kenapa orang mengejar gengsi?

Katanya, gengsi dianggap identik dengan kehormatan, dengan martabat seseorang. Hanya modal gengsi, seseorang dianggap keren. Sementara tanpa gengsi, katanya tidak punya eksistensi. Gengsi pun dicari banyak orang. Padahal gengsi, hanya kamuflase hanya rekayasa.

Seperti orang-orang di medsos yang gila gengsi. Mabuk popularitas. Pengen dipuji orang. Hingga tidak tahu lagi mana yang boleh mana yang tidak boleh? Semuanya jadi samar di mata penggila gengsi. Motto hidupnya pun jadi "atas nama gengsi, aku jadi begini". Gengsi dianggap bikin kaya, gengsi dianggap bikin status sosial tinggi. Lupa ya, karena genggi akhirnya nanti malu sendiri. Hanya menang sensasi tanpa esensi, itulah gengsi.

Beda halnya dengan pegiat literasi di taman bacaan. Orang-orang yang terbebas dari belenggu gengsi. Mengajak membaca buku anak-anak kampung, menata rak-rak buku, mengajar ibu-ibu buta aksara, bahkan mengendarai motor baca keliling kampung. Hanya untuk menyediakan akses bacaan. Semua itu tidak butuh gengsi. Karena gengsi tidak akan bisa bikin maju literasi. 

Maka pegiat literasi dan taman bacaan tidak boleh gengsi. Siapa pun, saat terjun ke taman bacaan sama sekali tidak butuh pangkat, jabatan atau kekayaan. Taman bacaan hanya butuh komitmen, konsistensi, dan mau berbuat sepenuh hati. 

Mau dosen, mau profesional, mau anak muda, Asal punya hati untuk mengabdi di taman bacaan, maka pantas jadi pegiat literasi. Gengsi itu bukan subtansi tapi hanya sensasi.

Gengsi itu bukan harga diri. Karena gengsi itu basisnya gila hormat atau mabuk popularitas. Sementara harga diri itu basisnya kesadaran mau memahami realitas. Gengsi itu ada apanya, sementara harga diri itu apa adanya. 

Gengsi pun tidak ada hubungannya dengan kehormatan apalagi martabat. Baik tidaknya seseorang itu bukan dilihat dari gengsinya melainkan hatinya. Tidak masalah kok tidak kaya asal cari uang sendiri. Daripada mengaku kaya padahal miskin. Memangnya gengsi bisa kasih makan orang?

Jangan jual harga diri demi gengsi. Apalagi mengorbankan harga diri agar dibanggap punya gengsi. Celakal;ah orang-orang yang korbankan harga diri demi gengsi. Bangun harga diri dengan perbuatan baik maka gengsi pun melekat sendiri. Untuk apa kerja keras demi gengsi? Untuk apa berjuang demi gengsi lalu membatasi diri untuk berbuat baik? Begitulah gengsi merasuki siapa pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun