Semua orang pasti ingin jadi lebih baik. Namun banyak orang lupa. Bahwa tidak ada kebaikan dan peradaban baik sedikit pun yang dibangun oleh prasangka buruk. Segudang prasangka buruk di langit kehidupan. Akibat mudah sekali menilai orang lain, bahkan menghakiminya. Lebih gemar mencari kesalahan orang lain. Hingga lupa aib dan kesalahannya sendiri.
Prasangka buruk memang sah-sah saja. Kapan mau dipakai, kapan mau dinyatakan bebas-bebas saja. Apalagi saat ngobrol bersama rekan sepergaulan. Mau berprasangka apa saja, tentu boleh-boleh saja. Tapi semua sifat prasangka adalah tidak tahu banyak. Sehingga jadi prasangka buruk. Lalu berkembang liar jadi fitnah dan gibah. Dan suatu saat nanti, akan membuat orangnya rugi sendiri dan akan dosanya harus ditanggung sendiri. Bilat ahu akibatnya, masih beranikah berprasangka buruk?
Katanya 'Don't judge a book by its cover'. Jangan menilai sesuatu hal hanya dari penampilan luarnya saja. Apalagi tidak tahu duduk persoalannya. Tidak tahu apa masalahnya. Lalu berceloteh dan berkomentar seperti pakar gibah. Ahlinya ngomongin orang lain. Terlalu mudah merendahkan orang lain. Hingga lupa keburukan dirinya sendiri.Â
Â
Prasangka itu berarti pendapat atau anggapan yang kurang baik sebelum tahu kebenarannya. Tanpa bukti, hanya katanya. Sayangnya di zaman now, tidak sedikit orang yang hidup dalam prasangka. Pendidikannya tinggi. Status sosialnya terhormat,. Agamanya oke. Tapi nyatanya, pikiran dan perilakunya penuh prasangka. Mereka yang gemar menghabiskan waktunya ntuk berprasangka buruk. Ditambah dalih, atas nama kepedulian atas nama perhatian. Entah, apa yang disangkakan? Atau apa untungnya berprasangka?
Siapa pun memang boleh empati kepada orang lain. Tapi itu bukan berarti "halal" untuk berprasangka buruk atau menyangka orang lain. Berkomentar atas dasar prasangka tanpa fakta. Prasangka itulah jadi awal berakhirnya sebuah kebenaran. Terkikis prasangka lalu menyatakan dirinya selalu benar. Sementara orang lain pasti salah.Â
Prasangka buruk, tidak terkecuali dialami taman bacaan dan pegiat literasi. Tempat untuk menegakkan kegemaran membaca pun disangka buruk. Ada yang bilang pencitraan, ada pula yang menuduh macam-macam. Hingga bertebaran fitnah dan gibah di langit taman bacaan. Padahal, mereka tidak tahu yang sebenarnya. Untuk apa taman bacaan didirikan? Kenapa [pula di daerah itu? Semua pasti ada alasannya, ada latar belakangnya. Anehnya di taman bacaan, mereka yang berprasangka buruk itu tidak pernah membantu, tidak pernah pula ber-sosial. Modalnya hanya prasangka berbasis iri dan benci. Terlalu subjektif dan berpikir negative. Tempat baik saja diprasangka buruk, sungguh realitas yang mengenaskan.
Zaman boleh maju tapi prasangka buruk pun makin melaju. Ilmu boleh tinggi tapi tidak ada gunanya bila dihantui prasangka buruk. Banyak orang sering lupa. Manusia sebagus apapun akhlaknya dan sehebat apapun akalnya. Sama sekali tidak berguna bila selalu direcoki oleh prasangka buruk. Gagal berpikir objektif. Tidak mampu bersahabat dengan realitas. Kaum prasangka buruk, justru kaum yang frustrasi akibat mimpi dan harapannya tidak pernha tercapai.
Semua orang ingin lebih baik. Semua orang ingin bermanfaat untuk orang lain. Tapi di saat yang sama, mereka lupa. BAHWA TIDAK ADA PERADABAN BAIK YANG DIBANGUN OLEH PRASANGKA BURUK. Peradaban baik itu ikhtiar, bukan sangkaan. Â
Maka jangan berprasangka buruk kepada orang lain, kepada apa pun. Apalagi sebelum tahu dan mengenal lebih dalam. Karena orang-orang baik itu bertindak bukan untuk dipandang sempurna oleh siapa pun. Tapi kebaikan adalah cara untuk memperbaiki diri. Tanpa keluh-kesah, tanpa prasangka buruk. Menjadi baik itu seperti senja, tidak pernah berduka walau menunggu waktu untuk tenggelam. Senja itu tidak pernah berteriak meminta tolong sekalipun hendak "menghilang".