Taman bacaan butuh uang gak sih? Kamu butuh uang kan? Mungkin jawabnya kompak serempak "butuh".
Hanya perlu diluruskan, bukan taman bacaan yang butuh uang. Tapi kebutuhan di taman bacaan yang memerlukan uang. Taman bacaan kan harus beli buku, bayar listrik, atau bikin aktivitas literasi yang perlu biaya. Jadi, karena taman bacaan punya kebutuhan maka uang diperlukan. Jangan di balik, taman bacaan butuh uang. Berarti bila tidak ada uang, tidak mungkin ada taman bacaan dong. Apa iya begitu?
Ini cerita nyata. Saat tim relawan Taman Bacaan Lentera Pustaka mendaki ke Gunung Salak melalui jalur Calobak. Mereka menggembol ransel isinya permen asem dan kue. Ada juga rokok bagi yang laki-laki. Bawa bekal seadanya. Tapi masing-masing sih membawa uang. Hanya makanan saja tidak bawa. Lalu setelah mendaki selama 2 jam, mereka tiba di tujuan. Tentu, lelah dan lapar. Karena udara dingin, rasa lapar pun makin tidak tertahan. Hari pun semakin malam dan gelap. Mereka pun menepi dan duduk di bebatuan. Lalu, salah seorang di antara mereka bertanya pada diri sendiri. "Mengapa saya kelaparan, padahal saya punya uang di dompet?"
Di gunung, uang ada tapi kelaparan. Bukti bahwa uang sama sekali tidak berharga, tidak dibutuhkan. Tapi makanan yang dibutuhkan pendaki gunung. Karena di gunung, tidak ada warung nasi apalagi restoran. Seberapa banyak pun uang di dompet sama sekali tidak berguna di gunung. Itu artinya, uang bukan kebutuhan. Tapi makanan yang jadi kebutuhan untuk mengatasi lapar.
Maka, sebenarnya manusia tidak butuh uang. Tapi kebutuhan manusia yang memerlukan uang. Seperti pendaki di gunung, saat merasa lapar yang dibutuh makanan. Bukan uang karena uang hanya alat untuk membeli makanan. Tapi sayang, tidak ada yang jualan di gunung.
Uang itu "mati gaya" bila tidak ketemu pedagang.  Uang hanya alat semata untuk membeli atau membayar. Maka hakikatnya, uang bukan kebutuhan. Tapi kebutuhan manusia-lah  yang memerlukan uang. Saat lapar, maka butuh makanan. Nah uang diperlukan untuk membeli makanan. Begitu kira-kira.
Maka di taman bacaan pun, uang bukan segalanya. Di gunung saja uang tidak berguna. Apalagi di akhirat nanti. Taman bacaan pun begitu, uang diperlukan tapi bukan kebutuhan. Taman bacaan hanya butuh pegiat literasi yang mau mengelola. Butuh buku-buku dan anak-anak yang membaca. Untuk apa taman bacaan punya banyak uang. Tapi buku bacaan tidak ada, anak-anak yang membaca pun kosong. Jadi, taman bacaan butuh uang gak sih?
Hati-hati, uang bukan segalanya. Uang atau duit sama saja. Money, kata orang bule. Uang itu panas. Bahkan bisa merombak sifat dasar manusia. Dsari baik jadi jahat, dari kawan jadi lawan. Karakter manusia pun berubah karena uang. Jadi beringas, nafsu dan menghalalkan segala cara. Ibarat kata, dunia bisa runtuh jika uang sudah bertindak. Coba lihat, betapa banyak kepribadian manusia berubah karena uang. Bahkan di beberapa tempat, iman seseorag pun goyah akibat uang. Entah kenapa? Banyak orang mencari uang. Tapi banyak pula orang yang salah memperlakukan uang.
Sampai-sampai, ada orang yang mengukur derajat manusia berdasarkan uangnya. Terhormat atau tidaknya manusia dilihat dari kantongnya. Ada juga manusia yang gaya hidupnya sok bergelimang uang. Hedonis dan konsumeris akibat uang. Segalanya diukur dari uang Edan.
Lebih gila lagi. Si uang sama sekali tidak pernah sudi berkorban untuk manusia. Tapi banyak manusia sudi dan rela mati demi uang. Bukan demi Allah. Jadi budak-nya uang. Pergi gelap pulang gelap demi uang. Mengejar harta, pangkat dan jabatan karena uang. Maka wajar, banyak orang stres karena uang. Pusing kepala dan galau akibat tidak punya uang. Entahlah, begitu nyatanya.