Zaman boleh maju, era boleh digital. Tapi sayang, opini jadi bertebaran di mana-mana. Opini itu pula yang jadi sumber hoaks. Opini pula jadi penegas subjektvitas sikap dan  pandangan yang kebenarannya sangat relatif. Atas nama otak, orang-orang yang merasa pintar bebas ber-opini. Masalah bukan jadi tuntas malah kian sesat. Opini, seolah membangun kebenaran atas dasar prasangka tanpa fakta. Begitulah opini bekerja. Memang opini itu bebas.
Per 30 September 2021 lalu, Nikkei Asia merilis indeks penanganan pandem Covid-19. Hasilnya dua jempol untuk Indonesia. Karena secara "all out" mampu meredam laju penularan Covid-19. Ranking Indonesia berada di 54. Jauh lebih baik dari AS di ranking ke-70 dan Inggris yang berada di ranking ke-69. Malaysia berada di ranking 102, sementara Singapura berada di 70-an. Kriterianya mencakup 1) manajemen penanganan kasus yang terinfeksi, 2) pelaksanaan vaksinasi, dan 3) pengendalian mobilitas sosial masyarakat. Maka John Hopkins University menilai penanganan Covid-19 di Indonesia disebut jadi salah satu yang terbaik di dunia karena berhasil menurunkan kasus Covid-19 sebesar 58% dalam dua pekan. Itu fakta yang suci.
Tapi bagi kaum pembentuk opini, tentu itu bukan prestasi. Karena dianggap wajar dan buah dari pencitraan negara. Kaum pembentuk opini menganggap menangani pandemi di negara berpenduduk lebih dari 270 juta sangat mudah. Sesuai dengan otaknya atau mazhab kebenciannya. Karena opini itu memang bebas. Hingga menggelinding jadi hoaks plus meme negatif pun tidak masalah. Kaum pembentuk opini, hanya tahu "orang yang tidak disukainya" tidak boleh punya prestasi. Asal bukan musuhnya, si opinion pasti oke. Prestasi boleh asal jangan untuk musuhnya.
Opini jadi kian bebas. Apalagi di grup-grup WA. Berceloteh sebebas-bebeasnya. Tanpa memberi solusi terhadap suatu masalah. Â Selain bebas, opini itu justru bikin banyak masalah. Bahkan bahayanya lebih dahsyat daripada wabah penyakit. Tidak sedikit kaum pembentuk opini seakan banjir omong kosong. Orang-orang yang kian jauh dari realitas, lalu tercerabut dari akar budaya bangsa dan akhlak yang baik. Tapi sekali lagi, mereka justru meyakini opini itulah akhlak yang mulia. Banyak omong tapi bukti kosong. Opini itu sering tidak literat.
Karena itu gerakan literasi jadi sangat penting didengungkan. Agar masyarakat jadi lebih literat, jadi lebih mampu menerima realitas. Seperti yang dilakukan TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Setelah 4 tahun berdiri, kini Taman Bacaan Lentera Pustaka mampu menjalankan 11 program literasi, antara lain: 1) TABA (Taman BAcaan) dengan 160 anak pembaca aktif dari 3 desa (Sukaluyu, tamansari, Sukajaya), 2) GEBERBURA (GErakan BERantas BUta aksaRA) yang diikuti 9 warga belajar buta huruf, 3) KEPRA (Kelas PRAsekolah) dengan 26 anak usia PAUD, 4) YABI (YAtim BInaan) dengan 14 anak yatim, 5) JOMBI (JOMpo BInaan) dengan 8 jompo, 6) TBM Ramah Difabel dengan 3 anak difabel, 7) KOPERASI LENTERA dengan 28 ibu-ibu sebagai koperasi simpan pinjam untuk mengatasi soal rentenir dan utang berbunga tingg, 8) DonBuk (Donasi Buku) untuk menerima dan menyalurkan buku bacaan, 9) RABU (RAjin menaBUng) karena semua anak punya celengan, 10) LITDIG (LITerasi DIGital) seminggu sekali setiap anak, dan 11) LITFIN (LITerasi FINansial). Bahkan tahun ini, melalui program "Kampung Literasi Sukaluyu" yang Direktorat PMPK Kemdikbudristek RI dan Forum TBM, TBM Lentera Pustaka akan memperkuat perilaku gemar membaca dan budaya literasi masyarakat. Kebetulan, TBM Lentera Pustaka Bogor merupakan satu-satunya taman bacaan dari Bogor yang terpilih 1 dari 30 TBM di Indonesia yang menggelar Kampung Literasi tahun 2021. Agar jangan hidup bermodalkan opini tanpa fakta.
Opini itu bebas. Fakta itu suci. Berbeda pendapat itu tidak masalah. Asal pada akhirnya berani menerima realitas. Sekalipun musuh, harus bisa mengakui prestasinya. Bukan justru sebaliknya, mencari argument baru yang menyesatkan. Apalagi ditambah dalil-dalil yang terkesan religius. Hingga hilang sikap saling menghargai. Dan memperbesar kebencian. Opini itu bebeas fakta itu suci, itulah tantangan gerakan literasi di Indonesia.Â
Â
Banyak orang lupa. Bahwa opini memang boleh bebas. Tapi itu tidak akan pernah bebas dari tanggung jawabnya. Opini boleh dibangun, Tapi fakta-lah yang jadi landasan kebenaran. Maka jangan terlalu banyak opini tapi mengabaikan fakta. Kali ini, opini tidak lagi bebas. Karena fakta itu suci. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka #KampungLiterasiSukaluyu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H