Work from home (WFH) alias bekerja dari rumah sudah lebih dari satu tahun. Akibat pandemi Covid-19 yang tidak kunjung usai. Banyak pekerja atau karyawan pun mengalami tekanan psikologis. Ada pikiran yang berkecamuk, tentang masa depan dari pekerjaannya. Apa masih ingin bekerja atau mengajukan pensiun dini?
Baru-baru ini, sebuah studi menyebutkan, pandemi Covid-19 memengaruhi sikap pekerja untuk pensiun lebih dini. Ada 73 persen pekerja ingin pensiun lebih cepat dan hanya 27 persen yang berpikir akan pensiun pada usia yang yang sudah ditentukan. Lalu, seorang kawan saya pun bertanya, apa boleh mengajukan pensiun dini?
Jadi, siapa yang menentukan usia pensiun pekerja?
Mungkin, pensiun dini sebagai sebuah pilihan sah-sah saja. Boleh saja pekerja mengajukan pensiun dini. Apalagi di tengah kecamuk pikiran akibat pandemi Covid-19. Psikologis-nya sedang tertekan. Namun sejatinya, pensiun dini sejatinya sangat tergantung kepada pemberi kerja, tergantung perusahaannya tempat bekerja. Otoritas pensiun dini bukan di pekerja. Artinya, disteujui atau tidaknya pekerja yang mengajukan pensiun dini menjadi kewenangan pemberi kerja atau perusahaan.
Sejatinya, istilah pensiun dini dalam berbagai literatur tidak ada acuannya. Bisa jadi, pensiun dini diadopsi dari salah satu manfaat pensiun di bidang dana pensiun, yaitu pensiun dipercepat sehingga disebut pensiun dini. Dengan begitu, pensiun dini hanya salah satu manfaat pensiun yang dibayarkan bila peserta pensiun pada usia tertentu sebelum usia pensiun normal. Pensiun dipercepat, umumnya berlaku 10 tahun sebelum usia pensiun normal. Bila usia pensiun pemberi kerja dalam peraturan perusahaan ditetapkan pada 55 tahun, maka pensiun dipercepat yang diperbolehkan pada usia minimal 45 tahun. Dasar itulah kemudian disitilahkan "pensiun dini".
Katakanlah usia pensiun dipercepat sama dengan pensun dini. Maka patut diketahui, seharusnya pensiun dini hanya bisa terjadi bila 1) mencapai usia tertentu sebelum usia pensiun normal, 2) ada kondisi pekerja yang menyebabkan harus pensiun lebih cepat, dan 3) keputusannya ada di tangan pemberi kerja. Pensiun dini boleh diminta pekerja tapi pemberi kerja atau perusahaan pun boleh tidak menyetujui. Tentu, dengan berbagai pertimbangan. Apalagi pemberi kerja atau perusahaan yang tidak memiliki ketersediaan dana untuk membayar "pensiun dini" si pekerja.
Pensiun dini bukanlah pilihan pekerja. Tapi pensiun dini harus dilihat sebagai opsi pemberi kerja kepada pekerja atas alasan tertentu. Lagi pula, untuk apa pensiun dini bila si pekerja tidak memiliki ketersediaan dana yang memadai saat tidak bekerja lagi atau saat pensiun? Begitu pula dengan pemberi kerja, ada tersdia dana untuk membayar pesangon, penghargaan masa kerja, dan penggantian hak pekerja yang pensiun dini?
Maka poin pentingnya, bukan mau pensiun dini atau tidak. Karena siapa pun pekerjanya, cepat atau lambat masa pensiun pasti tiba. Tapi masalahnya, apakah tersedia dana saat pensiun dini untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari. Maka baik pekerja maupun pemberi kerja, sudah seharusnya mempersiapkan datangnya masa pensiun melalui program pensiun. Menyisihkan sebagian dana sejak dini di saat masih bekerja, saat bisnis berjalan normal untuk menyiapkan program pensiun. Sebagai cara sederhana untuk membiasakan menabung untuk hari tua, di samping dapat meminimalkan beban biaya sehingga terhindar dari masalah cash flow. Saat manfaat pensiun pekerja harus dibayarkan. Karena pensiun bukan soal waktu. Tapi soal keadaan, mau seperti apa saat tidak bekerja lagi? Salam pensuun #EdukasiDanaPensiun #DPLK #YukSiapkanPensiun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H