Sebut saja, namanya si Fulan. Tiap hari dia berangkat kerja naik kereta, dari Bogor ke Jakarta. Saat mau menaiki tangga penyeberangan menuju stasiun, ia melihat seorang pengemis tua. Karena kasihan, si Fulan memberikan uang ke si pengemis tua. Tanpa bicara, si pengemis melambaikan tangan. Tanda terima kasih atas kebaikan si Fulan.
Esok harinya, seperti biasa si Fulan bertemu si pengemis itu lagi. Kali ini, ia mengajak si pengemis untuk sarapan pagi bersama di dekat stasiun. Saat makan di Fulan bertanya, "Pak, bagaimana ceritanya Bapak bisa seperti ini?"
Si pengemis pun menjawab, "Karena dulu, saya terlalu sering menolong orang". Si Fulan pun bingung dengan jawaban si pengemis tua. Kok bisa?
"Iya Nak. Dulu saya sering menolong orang di sekitar" kata si pengemis tua, "Entah untuk sesuatu yang benar atau salah. Saya selalu berusaha menolong orang. Sampai tanpa terasa saya sudah menghabiskan waktu dan bahkan uang saya".
Si Fulan pun bertanya, "Apakah Bapak menyesalinya?"
Si pengemis tua menjawab, "Tidak Nak. Saya hanya sedih. Karena orang-orang yang pernah mendapat bantuan saya. Sama sekali tidak mau membantu saya saat membutuhkan bantuannya. Nak".
Maka si pengemis tua pun memberi nasihat kepada si Fulan. "Begini Nak, lebih baik kamu mengundang orang kesusahan ke rumahmu. Daripada membagikan semen saat kamu membangun rumahmu sendiri" katanya.Â
Si Fulan pun berusaha memahaminya. Lalu mengangguk kepada sambil berkata dalam hati. Â
Ternyata tidak semua kebaikan itu berbuah manis. Lebih baik mengutamakan diri sendiri dulu sebelum menolong orang lain. Jangan memaksakan diri untuk menolong orang. Sebab tidak semua orang akan membalas kebaikan dengan kebaikan. Bisa jadi, karena hatinya sudah beku.
 Ada betulnya kata orang tua dulu. Bahwa terlalu banyak berbuat baik pun akhirnya bisa jadi sesuatu yang buruk. Seperti menolong orang yang dilakukan di pengemis tua. Menolong memang perbuatan baik. Tapi jika kita tidak melihat konsekuensinya maka dampaknya malah buruk.