JAKARTA TIDAK BAIK-BAIK SAJA DAN BUTUH PENGERTIAN
Hari ini Jakarta, kota kelahiran saya merayakan ulang tahunnya yang ke-494. Tapia pa mau dikata, Jakarta hari ini pun dilanda lonjakan kasus Covid-19 yang luar biasa. Tanggal 20 Juni kemarin, Jakarta kembali mencatat rekor baru dengan 5.582 penambahan kasus harian.Â
Di hari ulang tahunnya, tentu Jakarta tidak sedang baik-baik saja. Efek pandemi Covid-19, membuat Jakarta berubah. Dan jangan sampai, prediksi kasus aktif Covid-19 di Jakarta dapat mencapai 218 ribu pada Agustus 2021benar-benar terjadi.
Kenapa bisa begitu?
Jakarta memang kota sibuk. Kota yang mahaberpendidikan. Tapi di saat yang sama banyak orang Jakarta tidak punya sikap pengertian. Terlalu percaya diri dan egois. Saat pandemi Covid-19, perilakunya tidakterlalu berubah. Seperti biasa-biasa saja, bahkan menganggap baik-baik saja. Mungkin, akibat doktrin yang ditanamkan sejak dulu. Bahwa hidup di Jakarta itu keras. Doktrin itu dulu, mungki hari ini tidak tepat lagi.
Sebagai kota megapolitan, Jakarta memang surganya penyembah status sosial. Mobilitas yang tinggi lagi padat, jadi sebab pentingnya status itu. Pergi pagi pulang malam, menghabiskan waktu di kafe-kafe atau tempat kesenangan sesaat.Â
Lebih dari itu, tidak sedikit dari mereka berjuang untuk mempertontonkan nafsu konsumtif bahkan hedonisme. Gaya hidup jadi segalanya. Semuanya tergantung uang di kantong.Â
Orang-orangnya berteknologi canggih. Hingga handphone di tangan pun berlomba-lomba yang paling hebat. Suka tidak suka, Jakarta boleh disebut kota yang individualis, kota egois. Tapi sayang, di saat lain, peradaban dan karakter baik pun sudah ditinggalkan kota Jakarta.
Di Jakarta pasti banyak orang pintar. Tapi bisa jadi mereka kurang bijaksana.Â
Orang pintar memang gemar bicara, gemar mempermasalahkan yang harusnya tidak jadi masalah. Banyak bicara sedikit mendengar. Sementara orang bijak, justru lebih banyak mendengar dan bicara seperlunya.Â