Sepucuk Surat untuk Bapak, yang Tidak Akan Pernah Dibaca Beliau
Ini hanya sepucuk surat yang saya buat untuk Bapak. Dan beliau pun tidak akan pernah membacanya. Karena sejak 8 Juni 2021 lalu, bapak kami A. Lotang Yunus telah "pergi" untuk selamanya di usia 76 tahun. Sang prajurit teladan asal Bengo Maros Sulsel memang menyisakan kenangan yang indah. Bapak yang punya segudang teladan untuk anak-anaknya.
In Memoriam ke-3, almarhum A. Lotang Yunus (ALY) kali ini, saya menulis tentang "sepucuk surat untuk Baak yang tidak akan pernah dibaca beliau". ALY, sosok ayah yang hebat dan punya banyak cerita. Sebuah kisah yang tidak boleh dilewatkan oleh anak-cucunya, bahkan untuk orang lain sebagai hikmah kehiduapn. Inilah sepucuk surat untuk Bapak.
================
Teruntuk Bapak Ambo Lotang Yunus,Â
Sungguh Pak, bak petir di siang bolong saat tahu Bapak menghembuskan nafas terakhir 8 Juni 2021 kemarin. Usai sudah obrolan kita di teras rumah. Kursi bambu "singgasana" Bapak di depan rumah itu kini kosong. Melompong. Tidak ada lagi sosok hebat yang sedang duduk sambil menghisap sebatang rokok. Lalu bertanya, "gimana keadaan kamu, Nak?". Bapak pasti cinta kan sama anak dan cucu-cucunya? Tapi kenapa Bapak pergi?
 Pak, sepertinya baru kemarin Bapak masih mutar naik motor keliling komplek. Mencari sarapan, ke masjid, atau kadang jajan di sekitar KPAD Cibubur. Tapi hari ini, tidak ada lagi motor itu terparkir di pinggir jalan. Tidak ada pula sosok yang terduduk sendiri di area parkir motor di rumah. Bapak ke mana sih Pak, lalu siapa yang akan menaiki motor Bapak lagi?
 Saya masih butuh Bapak. Karena Bapak yang selalu mengajari kami untuk hidup prihatin dan menerima apa adanya. Untuk selalu bersyukur atas apa yang dimiliki, bersyukur kepada Allah SWT. Sejak kecil kami diajarkan untuk bekerja keras tanpa kenal lelah. Seperti waktu Bapak jadi tantara dan tetap bekerja jadi security di money changer, di Atrium Senen, atau di Jl. Prapatan. Karena Bapak, kami tahu arti pantang menyerah.Â
 Bapak pasti tahu kan. Ke-empat anak Bapak punya sikap dan perilaku sendiri-sendiri. Dan Bapak pula yang selalu mengajak kami bercerita sambil diselingin canda gaya khas Bapak. Tapi dari semua itu, Bapak yang selalu menasihati pentingnya hidup rukun. Berjuang untuk rukun walau kadang ada masalah dan kerikil tajam yang jadi sandungan. Bapak selalu berpesan, semarah apapun dan bertengkar tetaplah untuk rukun sekalipun itu sulit. Dan hingga Bapak pergi, kami pun masih belajar atas pesan-pesan Bapak.Â
 Pak, Bapak masih ingat gak? Saat kita ngobrol tentang rumah. Lalu Bapak bilang, "saya mau mati di sini dan dikubur dekat istri saya". Saat itu, kami terdiam dan tidak melanjutkan obrolan. Lalu siapa yang sangka, semua itu kini jadi nyata. Bapak meninggal dunia di kursi tamu di rumah saat tertidur. Lalu dimakamkan satu liang lahat dengan Ibu Tati Raenawaty di TPU Munjul. Istri yang sangat Bapak cintai sepanjang hayat. Bapak memang sosok hebat untuk istri dan anak-anak Bapak. Sungguh itu fakta Pak dan tidak bisa dibantah siapa pun.