Sesak itu bukan nyesek.
Karena "sesak" itu berarti terasa sempit, tidak longgar bila kaitannya dengan tempat. Sementeara "nyesek" itu biasanya menyempitkan atau bikin hidup jadi sukar. Akibat kerjaannya, mengurusi urusan orang lain. Makin nyesek bila sering marah, mudah benci bahkan hatinya gundah gulana. Hanya orang nyesek yang bawaannya pengen menangis. Apalagi bila orang yang dimusuhinya sukses atau makin maju. Jadi jelas, "sesak" itu lebih baik daripada "nyesek".
Seperti di TBM Lentera Pustaka Bogor. Tempatnya terbatas, sementara jumlah anak pembaca aktih mencapai 145 anak, jadi makin sesak. Tiap hari ada anak baru yang mau membaca dari kampung lain. Makin sesak tapi bagus dampaknya. Hingga anak-anak sulut mencari tempat untuk membaca akitab terbatasnya tempat.
"Sesak" itu bagus. Karena dadanya longgar hatinya lapang. Untuk menerima realitas apapun dalam hidup. Aura dan spiritnya selalu positif. Aktivitasnya bermanfaat bagi orang banyak. Itulah sesak. Sedangkan "nyesek" itu jelek bila tidak mau dibilang jahat. Karena dadanya makin sempit dan sering dielus-elus. Hatinya pun pengap. Akibat dari senang marah, mudah benci, dan kerjannya "mengintip laju" orang lain. Semua orang yang tidak disukainya dijadikan musuh, hingga taman bacana pun dimusuhi. Pantas, kian nyesek.
Jelas, sesak dan nyesek itu beda.
Sesak berkonotasi positif. Tapi nyesek konotasinya negatif. Sesak itu terjadi secara alamiah tapi nyesek terjadi karena dibikin sendiri oleh si pemilik hati. Maka, sesak akibatnya makin ramai. Tapi nyesek justru bikin sepi, apalagi hati dan pikirannya.
Di dunia literasi. Orang-orang "sesak" selalu optimis dan pasti akan merayakan kemenangan. Atas niat dan ikhtiar baik yang dilakukannya. Sementara, orang-orang "nyesek" pikiran dan tindakannya selalu pesimis. Sedih melulu dan pengen nangis akibat kesuksesan orang lain. Hatinya makin nyesek karena merasa jadi "korban" orang lain. Makin "nyesek" karena merasa kalah dan pikirannya kian sempit. Â Dan anehnya, nyesek itu dibuat sendiri.
"Sesak", seperti di taman bacaan. Anak-anak yang berebut buku. Tiap jam baca selalu ramai. Donasi bukunya terus bertambah. Bahkan taman bacaan yang aktivitasnya sudah seperti sekolahan. Tradisi baca dan budaya literasi yang kian tegak di anak-anak kampung. Itulah sesak.
Berbeda dengan "nyesek". Dadanya sakit, hatinya sempit. Mungkim, orang nyesek karena jarang baca buku. Apalagi membenci taman bacaan ya pasti nyesek. Orang itu kian "nyesek" bila berharap kejelasan di tengah ketidak-jelasan. Berharap keberuntungan hidup tanpa ada ikhtiar sekecil apa pun. Makin "nyesek" karena selalu mengintip laju orang lain. Padahal dirinya sendiri tidak pernah bergerak untuk melakukan hal yang baik dan positif. Terlalu banyak berpikir tanpa ada tindakan, sudah pasti nyesek.
Maka siapa pun dan di mana pun, harus sadar.Â