Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Buku dan Manusia, Apa Bedanya?

23 Januari 2021   18:44 Diperbarui: 23 Januari 2021   18:47 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini, bisa jadi buku memang makin jauh dari manusia. Buku yang terpisah dari kehidupan manusia. Begitulah realitasnya. Sulit untuk dibantah. Hanya segelintir orang saja yan hari-harinya berkutat dengan buku. Entah itu, membaca buku atau mengelola tempat-tempat baca buku seperti taman bacaam.

Katanya era digital, katanya era postmodern. Tapi faktanya, sebagian besar orang memang lebih suka main gawai atau menonton TV. Daripada membaca buku. Baca buku dianggap sudah ketinggalan zaman. Apa iya begitu?

Padahal, penelitian yang bilang. Menonton TV itu dapat menurunkan IQ (intelegensia). Sedangkan membaca buku adalah salah satu cara terbaik untuk mengurangi stres, dan meningkatkan memori. Bahkan baca buku bisa memancing gairah inspirasi, bahkan energi berkreasi. Apa saja pengen dikerjakan bila sudah membaca buku. Woww, keren banget sih baca buku ...

Sementara di luar sana. Ada banyak orang mampu membeli buku. Tapi mereka tidak mampu membacanya. Buku yang dibeli tapi tidak dibaca. Ada pula orang-orang yang rajin menyimpan buku-buku di rak rumahnya. Tapi sebatas pajangan atau hiasan saja. Tanpa mau membacanya. Dalam istilah Jepang itu disebut "Tsundoku", hobi membiarkan buku-buku teronggok di rumah tanpa pernah membacanya.

Soal buku, saya pun makin prihatin.

Pasalnya, saya sendiri punya 5 buku yang sudah ditulis tapi tidak kunjung selesai. Tidak terasa, sudah mau 5 tahun tidak kelar-kelar. Untuk menambhak koleksi buku karya saya yang sudah 31 buku. Dan terbukti bahwa baca buku susah, apalagi menulis buku. 

Payah sekali saya ini. Cuma urusan menulis buku sampai "diingatkan" penerbit. Kapan kelar naskahnya? Persis seperti bumi, yang harus diingatkan oleh gempa, oleh gunung meletus. Agar manusia bisa lebih eling lan waspada dalam hidup. Sambil tetap bersyukur. Karena masih ada yang mau "mengingatkan". Namanya manusia, maua jadi apa? Bila tidak mau lagi "diingatkan" atau "mengingatkan"?

Buku memang reresentasi kehidupan. Belum lama ini, saya pun diberi tahu penerbit. Akibat Covid-19, buku saya yang diterbitkannya mungkin akan di-stop. Karena penerbitnya terancam bangkrut. 

Padahal, penerbit itu tergolong legendaris di Indonesia. Sudah lama dan terkenal sejak saya sekolah dasar dulu. Buku saya yang sudah cetakan ke-4 pun harus di stop. Dan terpaksa mungkin, harus "dipindah-tawarkan" ke penerbit lainnya. Tentu, dengan beberapa revisi isi nantinya.

Ngalor-ngidul ini, saya sebut "buku dan manusia".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun