Kenapa jadi ribut tentang kata "anjay"?
Bila ditanya, maka saya akan jawab berdebat kata "anjay" sama sekali tidak produktif. Tidak ada gunanya berpolemik soal kata itu. Carilah bahan diskusi yang bermanfaat, yang mencerahkan.
"Anjay" itu bukan kata baku. Bila mau disebut turunan kreatif dari kata "anjing" pun, terus apa yang salah. Anjing kan nama binatang. Jadi tidak ada yang salah. Tapi bila "anjing" digunakan sebagai sapaan atau umpatan. Tentu harus ada siapa yang disapa? Kenapa pakai sapaan itu? Ya, tentu hanya si orang yang pakai kata sapaan itu yang tahu. Apa karena akrab atau karena apa?
Jadi, kata "anjay" yang diduga turunan kreatif dari kata "anjing" cukup disebut bersifat kurang pas atau negatif. Kurang mendidik sehingga lebih baik diganti pakai kata yang pas atau pantas saja. Tidak usah "dipidanakan". Tapi cukup diimbau untuk tidak usah "dipakai". Maka bila bergaul, ya bergaulah dengan orang-orang yang positif dan bahasanya pantas. Tidak perlu gunakan kata atau istilah yang tidak pantas atau negatif. Biar tidak jadi masalah, tidak jadi polemik.
Secara bahasa, kata itu minimal bisa dilihat dari dua sisi: 1) dari bentuknya dan 2) dari penggunaannya. Bentuk kata "anjay" bila turunan kreatif dari "anjing", karena ada di KBBI, maka kata itu ya netral saja alias tidak ada yang salah. Tapi bila penggunaannya dijadikan sapaan atau umpatan ya berarti salah, tidak pantas digunakan. Maka jangan digunakan. Seperti kata "jijay", "alay", "lebay", "tokay", dan sejenis. Apa mau diributkan?
Lalu bagaimana soal makna?
Terkait dengan makna "anjay" maka harus dilihat konteksnya. Itu ilmunya pragmatik, soal hubungan antara konteks luar bahasa dan maksud tuturan. Konteks luar bahasa, seperti dalam pergaulan, untuk keakraban, kesepakatan kelompok itu sangat mempengaruhi maksud tuturan. Dan maksud tuturan tentu tidak bisa dilihat hanya dari bentuk dan makna saja. Tapi patut dilihat pula dari tempat dan waktu berbicara, siapa yang terlibat, lawan bicaranya, tujuannya, cara penyampaiannya, dan sebagainya.
Agar tidak jadi polemik. Harus dipahami, tiap kasus berbahasa itu berbeda-beda. Tergantung aspek pragmatiknya sehingga bisa jadi positif atau negatif, bisa berterima atau tidak berterima. Bahasa itu bisa dipilih yang baik, bila mau. Tapi di sisi lain, bahasa juga seleratif - tergantung si orang yang memakai bahasa itu.
Jadi, berbahasalah yang pantas dan berterima.
Kata "anjay" kesannya tidak pantas, tidak santun. Ya sudah, cukup diimbau untuk tidak digunakan. Cari kata yang pantas dan tidak jadi polemik, sederhana kan? Â Seperti makanan atau uang, kata-kata juga harus pas. Jangan terlalu pelit tapi jangan pula terlalu mubazir.
Lakoff, seorang profesor linguistik dari Universitas California yang bilang. Agar tidak menimbulkan friksi, kesantunan berbahasa itu harus dilihat dari 1) formalitas, 2) ketidaktegasan, dan 3) kesamaan. Maka bila formalitasnya rendah, ketegasannya rancu, dan kesamaan tidak terpenuhi di antara pemakai bahasa berarti tidak santun. Maka kata itu tidak usah dipakai.
Di sisi lain, bahasa itu ada ragam lisan dan tulisan. Dan kedua ragam itu menempuh jalannya sendiri-sendiri. Tapi yang jelas, ragam lisan tingkat kebakuannya sangat rendah. Sementara ragam tulisan syarat kebakuannya tinggi. Maka ada kamus, ada kaidah ejaan, ada tata tulis, dan aturan lainnya. Saya menduga kata "anjay" itu ragam lisan. Jadi, kebakuannya rendah lalu untuk apa diributkan?
Jadi ribut. Hanya karena kata "anjay" itu bahasa lisan yang ditafsir seperti bahasa tulisan. Beginilah jadinya. Buat saya, "anjay" hanya diksi yang tidak baku. Bila saya suka maka saya pakai. Bila tidak suka maka tidak perlu saya pakai. Dan saya tidak akan pilih pakai kata "anjay". Tidak pantas.
Lebih penting dari semua itu, setiap kata dan bahasa itu punya kelebihan dan kekurangannya sendiri. Jadi, pilihlah bahasa yang pantas dan tidak menimbulkan polemik. Ributlah soal yang produktif dan solutif; tentang anak putus sekolah, tentang belajar jarak jauh, tentang gawai yang merasuk ke anak-anak, tentang lainnya yang jadi masalah besar di negeri ini.