Bangsa Indonesia sebentar lagi memperingati 75 tahun kemerdekaan. Bukti kemenangan dan terbebas dari belenggu penjajajahan. Berpuluh-puluh tahun membangun dalam bidang pendidikan untuk meraih kesejahteraan. Agar tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hingga kini tiba di era digital, di era revolusi industri 4.0. Semuanya bergantung pada 1) digitalisasi, 2) otomatisasi, dan 3) kecerdasan buatan. Maka siapapun, berlomba-lomba untuk menguasai digital; gawai, laptop, daring, startup sebagai ciri kaum hi-tech.
Namun siapa sangka, tidak jauh dari Jakarta sang ibukota negara di Kaki Gunung Salak Bogor. Masih ada kaum ibu-ibu buta huruf yang masih terus berjuang untuk bisa membaca dan menulis, sekalipun terkendala usia dan mengalami gangguan mata. Agar terbebas dari belenggu "buta hurf", bukan "penjajahan" bukan pula "teknologi".
Kaum buta huruf yang masih berjuang jelang 75 tahun Indonesia merdeka.
Mungkin, kita boleh tidak percaya. Bahwa masih ada orang-orang buta huruf di sekitar kita. Mereka bukan hanya tidak bisa baca. Tapi juga tidak bisa menulis. Berhitung pun hanya sebatas urusan uang dan belanjaan.
Seperti Ibu Euis, 48 tahun. Sekalipun mengalami gangguan penglihatan. Mata yang sulit melihat dari jauh. Kini masih berjuang untuk terbebas dari buta huruf. Melalui kegiaran Gerakan BERantas BUta aksaRA (GEBERBURA) Lentera Pustaka yang dibimbing langsung oleh Syarifudin Yunus, seorang dosen Unindra dan kandidat doktor manajemen pendidikan Pascasarjana Unpak. Bahkan tiap kali belajar baca dan tulis, kuam buta huruf pun "dihadiahi" seliter beras atau mie instan agar tetap datang belajar. Sebagai motivasi untuk terbebas dari buta huruf.