Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Publik Harus Tahu 5 Persepsi Taman Bacaan Masyarakat, Deschooling Society

25 Juli 2020   16:12 Diperbarui: 25 Juli 2020   16:11 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: TBM Lentera Pustaka

Literasi itu pekerjaan hati, bukan eksistensi

Di tengah wabah Covid-19 yang belym reda, apa kabar taman bacaan dan gerakan literasi di Indonesia? Jawabnya, relatif. Bagi taman bacaan yang kreatif, aktivitas membaca di taman bacaan tetap berlangsung. Sementara taman bacaan yang dikelola setengah hati, sudah pasti sedang "lockdown". Maka penting menjadikan taman bacaan dan kegiatan literasi dari hati, bukan eksistensi.

Simpulan itu tercermi dalam acara Ngobrol Daring Gerakan Literasi yang diselenggarakan @kelasimpian_com secara live di Instagram (25/07/20). Menghadirkan narasumber Syarifudin Yunus, Pendiri TBM Lentera Pustaka sekaligus Dosen Unindra dan dipandu oleh M. Yusuf, Pendiri Kelas Impian.

Melalui obrolan ini, Syarifudin Yunus menegaskan pentingnya menyamakan persepsi masyarakat tentang Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Karena ada banyak salah persepsi tentang TBM. Ada 5 Persepsi tentang TBM yang patut diketahui, antara alin:

1. Pendidikan Nonformal sama pentingnya dengan pendidikan formal sesuai amanat UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Oleh karena itu, TBM bukanlah sarana pendidikan "kelas dua". Tapi sama pentingnya dengan pendidikan formal. Hanya saya regulasi, mekanisme, dan praktiknya yang berbeda.

2. Realitas rendahnya minat baca masyarakat harus diakui terjadi akibat tidak tersedianya akses buku bacaan ke anak-anak atau pelosok daerah. Bahkan banyak orang hari ini kehilangan komitmen untuk tetap membaca.

3. TBM memang sifatnya sosial. Tapi tata kelola taman bacaan harus tetap profesional, bukan sembarangan. Agar TBM punya dampak kepada masyarakat sekitarnya.

4. TBM sebagai aktivitas harus dilihat sebagai "gerakan", bukan pengamatan atau bahan diskusi semata.

5. Ujungnya TBM harus mampu menjadi sarana pendidikan berbasis "social empowerment", bukan "self empowerment" seperti di sekolah formal.

Apalagi di tengah wabah Covid-19 sekarang. Saat sekolah diimabu dari rumah, pembelajaran jarak jauh (PJJ) seperti "jauh panggang dari api". Maka TBM layak tampil sebagai pilihan anak-anak sebagai tempat belajar. TBM yang menuju "learning center", bukan hanya sekadar tempat membaca atau penyediaan buku bacaan.

"Maka di masa Covid-19 begini, harusnya TBM lebih mendapat perhatian. Agar aktivitas belajar anak-anak bisa dilakukan di taman bacaan. Maka koordinasi dengan pihak sekolah dan keterlibatan orang tua dan masyarakat menjadi penting. Itualh yang disebut "Deschooling Society"" ujar Syarifudin Yunus saat live Instagram

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun