Literasi itu pekerjaan hati, bukan eksistensi
Di tengah wabah Covid-19 yang belym reda, apa kabar taman bacaan dan gerakan literasi di Indonesia? Jawabnya, relatif. Bagi taman bacaan yang kreatif, aktivitas membaca di taman bacaan tetap berlangsung. Sementara taman bacaan yang dikelola setengah hati, sudah pasti sedang "lockdown". Maka penting menjadikan taman bacaan dan kegiatan literasi dari hati, bukan eksistensi.
Simpulan itu tercermi dalam acara Ngobrol Daring Gerakan Literasi yang diselenggarakan @kelasimpian_com secara live di Instagram (25/07/20). Menghadirkan narasumber Syarifudin Yunus, Pendiri TBM Lentera Pustaka sekaligus Dosen Unindra dan dipandu oleh M. Yusuf, Pendiri Kelas Impian.
Melalui obrolan ini, Syarifudin Yunus menegaskan pentingnya menyamakan persepsi masyarakat tentang Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Karena ada banyak salah persepsi tentang TBM. Ada 5 Persepsi tentang TBM yang patut diketahui, antara alin:
1. Pendidikan Nonformal sama pentingnya dengan pendidikan formal sesuai amanat UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Oleh karena itu, TBM bukanlah sarana pendidikan "kelas dua". Tapi sama pentingnya dengan pendidikan formal. Hanya saya regulasi, mekanisme, dan praktiknya yang berbeda.
2. Realitas rendahnya minat baca masyarakat harus diakui terjadi akibat tidak tersedianya akses buku bacaan ke anak-anak atau pelosok daerah. Bahkan banyak orang hari ini kehilangan komitmen untuk tetap membaca.
3. TBM memang sifatnya sosial. Tapi tata kelola taman bacaan harus tetap profesional, bukan sembarangan. Agar TBM punya dampak kepada masyarakat sekitarnya.
4. TBM sebagai aktivitas harus dilihat sebagai "gerakan", bukan pengamatan atau bahan diskusi semata.
5. Ujungnya TBM harus mampu menjadi sarana pendidikan berbasis "social empowerment", bukan "self empowerment" seperti di sekolah formal.
Apalagi di tengah wabah Covid-19 sekarang. Saat sekolah diimabu dari rumah, pembelajaran jarak jauh (PJJ) seperti "jauh panggang dari api". Maka TBM layak tampil sebagai pilihan anak-anak sebagai tempat belajar. TBM yang menuju "learning center", bukan hanya sekadar tempat membaca atau penyediaan buku bacaan.
"Maka di masa Covid-19 begini, harusnya TBM lebih mendapat perhatian. Agar aktivitas belajar anak-anak bisa dilakukan di taman bacaan. Maka koordinasi dengan pihak sekolah dan keterlibatan orang tua dan masyarakat menjadi penting. Itualh yang disebut "Deschooling Society"" ujar Syarifudin Yunus saat live Instagram