Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Komputer Itu Apa Sih?" Suara Bocah di Taman Baca

26 Juni 2020   20:20 Diperbarui: 26 Juni 2020   20:09 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: TBM Lentera Pustaka

"Pak, gimana ini pake komputernya?" tanya Nazril antusias.

Maka bersyukurlah, para orang tua. Bila anaknya hari ini sudah pandai menggunakan komputer. Apalagi laptop dan gawai yang tentu dibeli dengan sebongkah rupiah. Bersyukurlah. Karena di luar sana, masih banyak anak-anak Indonesia yang belum pernah memakai komputer. Jangankan mengoperasikan, mengenal seperti ap aitu computer pun belum tentu tahu.

Nazril, siswa kelas 4 SD. Ia hanya salah satu dari puluhan anak di Taman Bacaan Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak yang belum mengenal wujud komputer. Dan kini, dengan senyum merekah, ia makin senang berada di taman bacaan. Karena selain membaca buku, ia pun sudah mulai belajar menggunakan komputer. Cara memakai mouse, mengetik, lalu memastikan tulisan di layar sudah cocok.

Mungkin tidak banyak orang tahu. Nazril yang tinggal di Kampung Warung Loa adalah satu dari puluhan anak yang terancam putus sekolah. Selain anak yatim, keluarganya pun tergolong miskin. Bahkan kakaknya yang perempuan pun kini SMA-nya "bermukim" di pesantren. Tanpa biaya, asalkan masih tetap bisa sekolah. Anak-anak yang terancam putus sekolah. Akibat kemiskinan dan ketidakberdayaan. Alasan ini pula yang menjadi dasar berdirinya Taman Bacaan Lentera Pustaka. Agar tidak ada lagi anak-anak putus sekolah, selain menyediakan akses bacaan kepada anak-anak.

Sore itu, Nazril dan teman-teman sebayanya pun membaca di taman bacaan. Lembar demi lembar buku dibacanya. Dengan suara nyaring diringin sayup-sayup udara sejuk di Kaki Gunung Salak. Bergabung di taman bacaan sejak 2018, kini Nazril sudah terbiasa membaca 5 buku per minggu. Ditambah lagi, semangat membaranya untuk belajar komputer. Seperti dalam pikirannya ingin tahu, "seperti apa dan secanggih apa sih yang namanya komputer?".

Kisah Nazril, si anak pembaca aktif di Taman Bacaan Lentera Pustaka. Adalah bukti bahwa minat baca anak Indonesia rendah tidaklah sepenuhnya benar. Justru minat baca terletak pada ketersediaan buku bacaan. Tersedianya akses membaca buku untuk anak-anak Indonesia, di manapun dan kapanpun. Begitu pula komputer. Selagi ada dan tersedia, anak-anak itu pun bersemangat untuk belajar dan menggunakannya.

Salah bila banyak orang menyangka. Anak-anak Indonesia malas dan tidak gemar membaca. Justru tanggung jawab orang dewasa dan pemerintah untuk sediakan akses bacaan kepada mereka. Berikan anak-anak akses. Maka mereka pun akan membaca buku dan belajar komputer. Itulah cara membentuk anak-anak yang literat.

Nazril dan anak-anak lainnya. Sebelumnya, mulutnya tertutup awan gelap buku-buku yang jauh darinya. Sebelumnya, mata dan jari-jarinya tersekat tembok besar yang menghalanginya. Tapi kini, ketika buku dan komputer ada di depan matanya. Senyum ceria pun merekah di bibirnya. Ada haranyan di balik matanya. Bahwa masa depan itu ada di pikirannya. Tidak segelap dulu lagi ...

Ada benarnya kisah dalam film "Imperfect" (2019). Bahwa Ketika seseorang atau anak-anak mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Akibat keterbatasan, kemiskinan, bahkan ketiadaaan akses pasti akan jadi bahan cemoohan. Anak-anak yang tumbuh tanpa sikap percaya diri. Maka sudah saatnya siapapun yang paham. Berani bertindak untuk membimbing anak-anak untuk mencintai dirinya sendiri, sambil menyiapkan akses untuk mereka. Apapun keadaannya.

Tentu, Nazril dan teman-temannya di taman bacaan bukan sudah menang. Atau sudah hebat membaca. Justru sekarang. Nazril dkk. sedang "bertempur lahir batin" dengan anak-anak lain yang belum mau membaca, belum berganung ke taman bacaan. Nazril dan anak yang membaca, sungguh harus ditemani. Agar dia tidak merasa sendiri dan tergoda kegiatan anak-anak yang tidak ada manfaatnya; nongkrong, main game, atau becanda tidak karuan.

Jam dinding pun terus berdetak. Setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik. Itu tanda. Bahwa waktu adalah sebuah pilihan. Mau dipakai untuk hal bermanfaat atau disia-siakan begitu saja. Seperti Nazril si anak kampung yang kini pun masih berjibaku dengan waktunya, hari-harinya. Semoga ia tetap membaca dan tidak tergilas zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun