Sistem perkuliahan daring atau online di masa pandemi Covid-19 ternyata  membuat sebagian besar mahasiswa mengalami kesulitan. Maka, kuliah daring belum sepenuhnya dapat menjadi alternatif pembelajaran yang memadai. Hal ini tercermin dari hasil "Survei Kuliah Daring Mahasiswa" yang saya lakukan (8 Juni 2020) dengan 149 responden mahasiswa di 3 perguruan tinggi.
Saat ditanyakan "apa hambatan/kendala Anda dalam mengikuti kuliah daring?" Faktanya, 65% mahasiswa terhambat masalah jaringan internet atau kuota, 26% hambatan soal waktu, 7% hambatan soal ponsel/laptop, dan 2% hambatan lain. Kondisi ini memberi sinyal kuat. Bahwa mahasiswa pada umumnya sama sekali tidak siap untuk melakukan kuliah daring. Di samping menjadi "pekerjaan rumah" untuk kampus dalam mensosialisasikan kuliah daring sebagai alternatif pembelajaran di era digital.
Patut diduga, hasil survei ini pun menyiratkan sebagian besar mahasiswa hanya memiliki akses internet sesuai dengan kuota yang dibeli untuk durasi waktu singkat. Entah, paket harian, paket 3 harian atau paket semingguan. Di sisi lain, survei ini pun menegaskan dominasi kuat kuliah tatap muka di kelas. Baik dalam situasi darurat seperti wabah Covid-19 atau tidak darurat. Kuliah daring nyatanya belum menjadi pilihan di kalangan perguruan tinggi.
Sementara banyak perguruan tinggi, akibat wabah Covid-19, telah mengimbau untuk mengganti kuliah tatap muka menjadi kuliah daring. Ternyata di lapangan, sebagain besar mahasiswa mengalami hambatan. Sehingga efektivitas perkuliahan pun tidak optimal. Sedangkan dalam situasi pandemic Covid-19, sudah pasti kuliah tatap muka di kelas tidak dapat dilakukan. Karena membahayakan mahasiswa tertular virus corona.
Kendala jaringan internet atau kuota data ini menjadi penegas atas jawaban survei kuliah daring tentan "apakah Anda memiliki hambatan atau kendala untuk mengikuti kuliah secara daring?" Dan hasilnya, 78,5% mahasiswa menjawab "ya" dan 21,5% mahasiswa menjawab "tidak". Itu berarti, sebagian besar mahasiswa memang memiliki hambatan dalam perkuliahan daring.
Maka menjadi "pekerjaan rumah" banyak perguruan tinggi untuk mulai menjadikan kuliah daring sebagai opsi yang perlu disosialisaikan. Karena logika sederhananya. Nila kuliah tatap muka di kelas, mahasiswa mengeluarkan biaya transport dan makan. Seharusnya saat kuliah daring, maka biaya tersebut harusnya bisa dikonversi ke biaya jaringan internet atau membeli kuota data.
Hal lain yang patut diketahui. Konsepsi kuliah daring harusnya mengacu kepada format video conference, bukan yang lain seperti google classroom, WhatApps atau surel. Karena kuliah daring adalah pengganti dari kuliah tatap muka di kelas. Maka kuliah daring, yang berasal dari kata "dalam jaringan" (online) harus berada dalam tatap muka dengan bantuan fasilitas internet. Bukan yang luring yang berasal dari luar jaringan (offline).
Inilah kendala yang patut menjadi perhatian kampus, mahasiswa maupun dosen. Dalam hal kuliah daring di masa pandemic Covid-19 .... #KuliahDaring #BudayaLiterasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H