MEMBACA itu hak semua anak, di kota atau di kampung. Kaya atau miskin; tanpa terkecuali.
Maka anak-anak di manapun harus diberi akses untuk mendekat kepada buku bacaan. Anehnya, sekalipun angka partisipasi pendidikan anak usia sekolah di Indonesia terus meningkat tiap tahunnya. Tapi hari ini, masih ada jutaan anak yang mengalami putus sekolah. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (2016) total jumlah anak putus sekolah di 34 provinsi masih berada di kisaran 4,6 juta anak.
Ada dua sebab anak putus sekolah, yaitu 1) kemiskinan dan 2) pernikahan dini. Itu semua terjadi akibat mind set atau cara pikir yang belum berubah. Apakah anak dari keluarga miskin berarti tidak bisa sekolah? Atau mereka harus segera dinikahkan? Maka siapapun, harus peduli soal ini. Apalagi pemerintah, utamanya pemerintah daerah. Terjunlah ke kampung-kampung, bikin saja survei kecil tentang tingkat partisipasi pendidikan masyarakatnya. Apa rata-ratanya? SD, SMP, SMA atau perguruan tinggi.
Silakan cek. Di kampung-kampung, apakah ada fasilitas untuk membaca buku untuk anak-anak? Entah itu perpustakaan, taman bacaan, atau pojok baca. Asal tahu saja, di kampung-kampung itu, perpustakaan sekolah saja tidak ada. Bila ada pun, sama sekali tidak dirawat bahkan buku-bukunya sudah using. Sementara sekolah di kota-kota besar, ada banyak pojok-pojok baca yang diciptakan. Hanya untuk estetika, sekadar pemandangan indah di kawasan sekolah.
Apalagi di tengah gempuran era digital seperti sekarang. Jutaan anak di Indonesia malah pandai memainkan gawai alias ponsel pintar. Penelitian yang telah dipublikasikan Uswitch.com menyebut "lebih dari seperempat anak-anak di seluruh dunia memiliki akses ponsel genggam sebelum usia 8 tahun". Kemendikbud dalam survei bertajuk Indonesia Millennial Report 2019 menyebut 94,4% milenial Indonesia telah terkoneksi dengan internet.
Apakah kita bangga dengan anak-anak yang jago bermain gawai? Sama sekali tidak. Anak-anak yang addicted atau kecanduan gawai tidak bisa dibanggakan. Sama seperti orang tua yang kerjanya main gawai. Tapi anehnya hari ini, tidak sedikit orang tua yang justru bangga bila mampu membelikan ponsel pintar buat anaknya. Alasannya, agar anak-anaknya tidak menangis atau biar melek teknologi. Sementara si anak, makin asyik main gim online. Kian gencar eksis di media sosial. Atau chat tentang gaya hidup bersama teman-temannya. Maka wajar, ada rumah sakit di Indonesia hari ini yang 25% dari total pasien anak akibat  kecanduan gawai. Butuh konsultasi dan berobat. Itulah kondisi anak-anak yang akrab dengan gawai, bukan buku bacaan.
Membaca buku. Adalah "musuh" dari anak yang putus sekolah. Musuh dari anak-anak penggila gawai. Maka tidak ada alasan, taman bacaan atau pegiat literasi di manapun. Selain terus kampanye dan menebarkan aktivitas membaca buku di kalangan anak-anak usia sekolah. Tikda masalah, kita ada di kampung apa dan di mana? Asal tetap konsisten memberikan akses buku bacaan kepada anak-anak. Menjadikan baca buku sebagai "perlawanan" terhadap gaya hidup anak-anak yang tidak produktif.
Sebut saja, Agil namanya. Siswa kelas 4 SD di Kampung Warung Loa Desa Sukaluyu, di Kaki Gunung Salak Bogor. Bukan hanya terancam putus sekolah akibat ekonomi keluarga yang tergolong miskin. Maka ia pun terus berjuang agar tetap bisa sekolah. Maka salah satu cara yang bisa ditempuh adalah mendekatkan anak-anak usia sekolah dengan buku bacaan. Harus ada kemudahan akses menyentuh buku bacaan.
Maka di kaki Gunung Salak Bogor, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka hadir untuk memberi akses buku bacaan pada anak-anak usia sekolah. Agar tidak ada lagi anak putus sekolah, di samping memperkecil porsi anak-anak bermain gawai alias ponsel pintar. Dan melalui konsep TBM-edutainment, kini terbukti ada 60 anak pembaca aktif usia sekolah, yang mampu membaca rata-rata 5-10 buku per minggu. Dengan koleksi lebih dari 3.000 buku, TBM Lentera Pustaka ingin mengubah mind set agar anak-anak tetap mau membaca. Agar  bertambah pengetahuan dan wawasan.
Kini saatnya orang dewasa peduli terhadap anak-anak yang membaca buku. Apalagi di kampung-kampung. Sudah terlalu lama anak-anak "tidak mampu menikmati" indahnya membaca buku. Akibat aksesnya terbatas, buku-bukunya langka. Â