Omnibus Law khususnya RUU (Rancangan Undang-Undang) Cipta Kerja yang kini telah diserahkan Pemerintah ke DPR RI memasuki babak baru. Bisa jadi, inilah momentum DPR RI untuk mengundang partisipasi publik untuk menerima masukan dan pemikiran terkait isu ketenagakerjaan secara lebih komprehensif. Sehingga niat baik hadirnya RUU Cipta Kerja menjadi lebih efektif dan benar-benar tetap berpihak pada pekerja di Indonesia.
Berangkat dari realitas itulah, Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) menekankan pentingnya Omnibus Las RUU Cipta Kerja harus tetap berkoneksi dengan industri dana pensiun yang sudah berjalan selama ini. Karena selain menjadi alternatif pendanaan imbalan pasca kerja pekerja, industri dana pensiun pun saat ini telah melayani lebih dari 4,7 juta pekerja di Indonesia dan mengelola aset lebih dari Rp. 291 trilyun per Desember 2019. Seperti diketahui, industri dana pensiun saat ini pun berpijak pada UU No. 11/1002 tentang Dana Pensiun.
Maka sebelum diundangkan, RUU Cipta Kerja dalam Omnibus Law atau bahkan Peraturan pemerintah (PP) turunannya nanti harus memperhatikan keberadaan industri dana pensiun yang selama ini telah berkontribusi dalam menjaga stabilitas pembayaran manfaat pensiun dan imbalan pasca kerja di sektor ketenagakerjaan. Secara konkret, RUU Cipta Kerja pun harusnya meng-akomodir poin penting dalam pendanaan pensiun atau imbalan pasca kerja melalui mekanisme dana pensiun, yaitu:
1. Segala bentuk pembayaran imbalan pasca kerja yang menjadi kewajiban pengusaha atau pemberi kerja dapat berasal dari program dana pensiun.Â
2. Program dana pensiun secara sukarela yang diikuti pengusaha atau pemberi kerja dapat dikompensasikan sebagai bagian pembayaran segala bentuk pengakhiran hubungan kerja.
Oleh karena itu, Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang akan memuat sejumlah perubahan bagi kompensasi ketenagakerjaan perlu melibatkan industri dana pensiun yang selama ini memiliki kompetensi dalam urusan program pensiun dan imbalan pasca kerja.
"Omnibus law RUU Cipta Kerja perlu mengatur semua program pensiun termasuk yang dijalankan dana pensiun selama ini harusnya dapat dikompensasikan sebagai kewajiban atau offset dengan semua program pengakhiran masa kerja, tanpa terkecuali" ujar Syarifudin Yunus, Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK hari ini di Jakarta.
Bagaimana mekanisme offset-nya? Sebagai contoh, misalnya pemberi kerja harus membayar Rp300 juta kepada pekerja ketika pensiun, sedangkan iuran di JHT BP Jamsostek yang terkumpul ada Rp50 juta, di DPLK ada Rp100 juta. Maka sudah terkumpul Rp150 juta, itu berarti pemberi kerja tinggal menambahkan sisanya. Inilah sisi konektivitas yang harusnya diperhatikan RUU Cipta Kerja. Karena intinya, realisasi pendanaan pensiun atau imbalan pasca kerja penting untuk diimplementasikan oleh pemberi kerja.
Mengapa begitu? Karena seperti diketahui, setiap pekerja hakikatnya membutuhkan Tingkat penghasilan Pensiun (TPP) sebesar 70%-80% dari gaji terakhir. Agar bisa memenuhi biaya hidup dan mempertahankan gaya hidup di masa pensiun atau masa tidak bekerja lagi. Sementara dana yang diperoleh dari JHT maupun pesangon pada dasarnya tidak akan melebihi dari 30%. Oleh karena itu, gap atau kesenjangan yang ada harusnya bisa ditutupi dari program dana pensiun secara sukarela. Di situlah pentingnya pendanaan melalui dana pensiun.
Asosiasi DPLK menyadari persoalan tenaga kerja di Indonesia memenag terbilang komplek. Karena itu diperlukan sinergi dan iktikad baik dalam merumuskan regulasi seperti RUU Cipta Kerja. Harus ada keterlibatan partisipasi publik secara menyeluruh, baik pengusaha, pekerja, maupun penyelenggara dana pensiun.
Sehingga niat Omnibus Law RUU Cipta Kerja untuk mengundang investasi, menyediakan lapangan pekerjaan, dan menyejahterakan pekerja benar-benar bisa terealisasi. Bukan hanya di atas kertas. Dan salah satunya, bisa ditempuh melalui adanya konektivitas antara RUU Cipta Kerja dengan dana pensiun sebagai sarana pendanaan pensiun atau imbalan pasca kerja.