Tiap kali hujan deras dan cukup lama, banjir terjadi di mana-mana. Sudah biasa, begitu musim hujan maka banjir pun tiba. Apalagi di kota besar seperti Jakarta. Kota yang aman dan nyaman bagi air melimpah seperti banjir. Di rumah saya pun, setelah 6 tahunan tidak pernah banjir.
Kali ini, di 1 Januari 2020 mulai kebanjiran. Alhamdulillah, karena banjir adalah anugerah yang luar biasa. Bolehlah dimaknai, tahun 2020, insya Allah menjadi tahun melimpahnya kesehatan, kesuksesan, dan keberkahan. Melimpahnya rahmat dan karunia Allah SWT, amin.
Kenapa banjir? Tentu, menjadi penting untuk dibahas. Tidak menarik untuk dikaji. Karena banjir adalah anugerah-Nya. Dan biar menjadi tugas para pemikir bangsa dan kota Jakarta untuk mengkaji serta mencari solusinya.
Banjir itu hanya akibat. Sebabnya adalah hujan. Dan faktanya, jutaan orang pun merindu hujan. Jutaan manusia, nyatanya lebih suka hujan daripada kemarau. Maka hujan pun selalu turun tanpa peduli omongan orang. Sekalipun jutaan manusia mencacinya, menghujatnya. "Sialan hujan, kenapa tidak berhenti?" Begitu kata sebagian orang yang membenci hujan atau banjir.
Di mana pun, hujan tetap akan turun. Karena hujan tahu selalu ada orang yang mengingatkan kehadirannya. Entah, karena cinta atau benci. Atau karena bosan dengan musim kemarau berkepanjangan. Karena setelah hujan, siapapun bisa melihat pelangi indah sesudahnya. Keindahan anugerah sang pencipta.Â
Memang, terlalu banyak hujan itu tidak baik. Banjir terus menerus pun menjadi luka.Â
Tapi patut direnungkan, kenapa manusia terus membenci dan mencaci? Melulu mengeluh dan pesimis dalam hidupnya? Untuk apa menangis bila yang ditangisi adalah realitas?
Maka, filosofi banjir memberikan ajaran.
Bahwa untuk apa menghakimi atau memvonis orang lain berlebihan? Untuk apa membenci terus menerus. Bukankah banjir akibat hujan pun bisa melanda manusia.Â
Sama sekali tidak perlu ada "banjir" amarah dan kebencian. Karena manusia hanya bisa mengambil hikmahnya. Dari setiap peristiwa, setiap realitas. Untuk menjadi lebih baik ke depannya.
Filosofi banjir menegaskan hukum "duduk sama rendah berdiri sama tinggi". Banjir tidak mengenal tempat. Istana presiden banjir, kantor gubernur banjir, apalagi rumah penduduk.